Quantcast
Channel: Whiteboard Journal
Viewing all 9814 articles
Browse latest View live

Footurama Show: Makeover, Supreme dan The Sims dengan Danilla Riyadi

$
0
0

Setiap orang pastinya pernah melewati fase-fase berbeda dalam hidupnya. Tak hanya menyangkut musik, gaya berbusana seseorang tentunya juga berubah seiring perkembangan waktu, bertambahnya referensi, dan apa yang sedang tren pada saatnya. Terlebih lagi, gaya berpakaian juga merupakan cerminan langsung dari kepribadian maupun suasana hati pemakainya. Makanya, sering terlihat orang-orang berbelanja pakaian untuk mengubah atau bahkan mempertegas apa yang sedang dirasakan.

Di episode keenam Footurama Show, kami mengangkat cerita dari salah satu customer kami, Danilla Riyadi, seorang musisi yang datang ke toko dengan keinginan untuk mengubah gayanya. Bersama Abim dan Dedy, Danilla mendapatkan bantuan makeover yang sesuai dengan harapannya juga cerita di balik fashion items pilihannya. Selamat menonton!whiteboardjournal, logo

The post Footurama Show: Makeover, Supreme dan The Sims dengan Danilla Riyadi appeared first on Whiteboard Journal.


Things We Like: Dari Minggu Pertama Maret

$
0
0

Di edisi pertama “Things We Like” di tahun 2019, kami mengumpulkan hal-hal yang sedang disukai oleh tim Whiteboard Journal berikut alasannya. Dari comfort food, gaming channel di YouTube, kedai bakmi ayam, hingga film animasi pendek, berikut adalah “Things We Like” dari minggu pertama Maret.

FEBRINA ANINDITA
Editorial Staff

What:
Gaussian Curve – Impossible Island

Description:
Hari Minggu kemarin rencananya mau cek semua playlist Selected yang akan datang dan mulai jahit lagu-lagunya jadi mixtape (ribet). Tapi mentok di playlist dari si A dan kecantol lagu ini. Sebenarnya lagu ini sudah sempat ada di Selectednya Galuh Anindita tapi karena pas banget kemarin hujan, jadi looping deh sampai ketiduran.

Lupa jahit jadi mixtape deh…

AMELIA VINDY
Editorial Staff

What:
Jam Skate Videos

Description:
Satisfying. Berhubung baru nemu hobi baru, gue lagi ada di momen digging ina-inu soal roller skate dan akhirnya stuck di video-video jam skating. Jadi jam skating ini adalah salah satu genre gitu lah kasarnya, karena roller skate ada banyak cabangnya, misalnya kaya jam skating, race, dll dan hal tersebut lah yang menentukan jenis sepatu apa yang akan lo pakai. Roller skate nggak cuman soal keseimbangan atau bisa berseluncur doang sih tapi juga soal “fun”. Kalau lo belum bisa nemuin fun-nya pasti bakalan susah belajarnya, tapi kalau lo sendiri sudah fun, kayanya prosesnya tuh pasti nggak keras, meskipun harus jatuh bangun dulu.

GHINA HANA SABRINA
Editorial Staff

What:
Chicken Shop Date

Description:
I think this is how I’d look like if I ever have my own interview show,” was what crossed my mind while I watched “Chicken Shop Date” for the first time. In this series, Amelia Dimoldenberg, a very serious journalist, have dates with UK rap and grime artists over chicken nuggets and wings. I first heard of her when my friend told me that she was awarded student broadcast journalist of the year by The Guardian while still studying fashion journalism in Central Saint Martins – and obviously I wanted to check her out.

Here’s the deal, what made the series so great is her deadpan, sarcastic, cringe-inducing personality which often caught her guests off-guard. She is the antithesis of a bubbly presenter you often see everywhere, because let’s be real, while that is a nice quality to have, not everyone is chatty and bubbly. Anyway, most of her videos are so awkward you’d feel secondhand embarrassment while watching, but that’s what makes it terribly funny. Such an inspiration.

EMMA PRIMASTIWI
Editorial Staff

What:
Carrie Carollo’s NYC Apartment Tour

Description:

I’m a very nosy person. I’m always down to know how people decorate their houses so I can live vicariously through them. This time it’s no different. Carrie Carrollo is a Beauty Editor who managed to turn her studio apartment into a vintage eclectic haven. Sometimes I imagine myself as a character from a show, as some emerging screenwriter paying her dues and living in that exact apartment. Halu

CLARISSA AMABEL
Art Director

What:
Coco Ichibanya – Minced Beef Cutlet + Spinach + Cheese Curry Rice

Description:
In a fucked up week such as last week, I’ve been looking for comfort in food (I’m a Taurus so there). I usually only eat Coco Ichibanya when I desperately need a mood lifter (because carbs) and it does not disappoint. Wash down the curry breath with gulps of Japanese roast tea + cheese topping. What can I say, I tend to overcompensate. Umai!

DILA F. HASAN
Graphic Designer

What:
Bakmi ayam kampung Alex

Description:
Waahhh gelaseeh!!! (lebay) ini bakmi halal terenak yang pernah gue coba, bakmi roxy ga ada apa-apanya monmaap. OG-nya ada di Meruya tapi ternyata buka cabang di daerah Prapanca Jaksel sini, dan akhirnya gue mesen pake Go-Food. Texture bakminya itu kenyal yang medium tebal, kuahnya gurih nan creamy-greasy, gak terlalu asin, pangsit ayamnya juga tebel banget dengan daging dan ayam yang dia pakai itu ayam rebus! Seada-adanya ayam paha/dada rebus disuir huhuhu seger banget…harganya memang lebih mahal dibanding bakmi pada umumnya tapi ada harga ada kualitas bukan? Patut dicoba untuk penggemar bakmi!

ALMER RASHAD
Graphic Designer

What:
Someordinarygamers youtube Channel

Description:
Gue mungkin bukan tipe-tipe orang yang suka nonton gaming channel di YouTube, tapi SOG punya daya tarik sendiri di mana dia ga mainin game yang terkenal kayak Fortnight atau GTA 5. Anehnya dia suka banget mainin game-game independen yang formatnya pun masih “.exe”, dia suka eksplorasi deep web, suka mainin virus komputer buat ngancurin komputernya sendiri, dan bahkan dia mainin game-game yang muncul di ads website. Gue ga pernah nemu channel gaming di YouTube yang mungkin “dank” dengan estetika nya dan konten konten yang gak penting tapi semenarik itu.

SABRINA FARIZKY
Marketing & Sales

What:
Chef’s Table S06E02: Dario Cecchini

Description:

“I’m not a cook; I’m a butcher that cooks.”

Di season terbarunya, Chef’s Table meng-highlight profil chef sekaligus butcher asal Tuscany, Dario Cecchini. Cukup banyak hal yang bisa kita pelajari dari Dario Cecchini, mulai dari bagaimana ia tidak mau menyia-nyiakan bagian apapun dari hewan yang ia potong sebagai bentuk respect-nya terhadap kematian, hingga sarannya untuk tidak menggunakan bumbu apapun (not even salt or pepper) pada grilled steak agar kita dapat benar-benar menghargai rasa dari daging tersebut.

Habis nonton episode ini semakin pengen keliling Italy untuk wisata kuliner, ga ada yang mau bantu galang dana nih? 🙁

MAR GALO
Bamboo Twist

What:
Kitbull | Pixar SparkShorts

Description:
Animasi pendek dari Pixar tentang persahabatan anak kucing jalanan dengan pitbull yang di-abuse oleh ownernya. Sedih woi!whiteboardjournal, logo

The post Things We Like: Dari Minggu Pertama Maret appeared first on Whiteboard Journal.

Yogha Prasiddhamukti Presents You A Roller-Coaster Mix

$
0
0

As one of the ‘it’ guys in the local music scene, Yogha Prasiddhamukti aka Jurassicphunk has a long list of associations you might familiar with. From being a vocalist of a band called Skandal, active member of Studiorama, one of the initiators of regular party in Mondo by the Rooftop called Gaduh, owner of indie cassette label called Winona Tapes and recently being a DJ here and there.

Seeing how he’s able to juggle his social activities with work as an editor, we think he must have an interesting music reference. So this Selected we have Siddha who came up with a multigenre mixtape that sums up his daily routines in Jakarta, from early morning, through the day until late at night.

1. Bob Dorough – “Three is the Magic Number”
2. New Order – “Cries and Whispers”
3. Crack Cloud – “Drab Measure”
4. Fugazi – “Bad Mouth”
5. My Bloody Valentine – “Drive It All Over Me”
6. The Dentists – “I Had An Excellent Dream”
7. Stereolab – “Miss Modular”
8. Joe Bataan – “Aftershower Funk”
9. Dreamatic – “Audio Trip”
10. 1-800 GIRLS – “U, Me and Madonna”
11. John Coltrane – “My Favorite Things”whiteboardjournal, logo

The post Yogha Prasiddhamukti Presents You A Roller-Coaster Mix appeared first on Whiteboard Journal.

Disney Hadirkan Layanan Streaming Bernama Disney+ September Mendatang

$
0
0

Teks: Vestianty
Foto: Mashable

Dunia layanan streaming video kini semakin menjajaki masanya dengan menjamurnya platform streaming yang satu per satu mulai bermunculan. Mulai dari Apple, IMDb, hingga DC Universe mencoba mengikuti jejak kesuksesan Netflix dengan penawaran khusus masing-masing. Disney sebagai salah satu konglomerat media massa multinasional dan hiburan pun tak luput dari perkembangan ini. Setelah November tahun lalu mereka mengumumkan layanan mereka akan dinamakan Disney+, kali ini Disney memutuskan untuk mengakhiri kesepakatan distribusi dengan Netflix.

Raksasa media ini berencana untuk meluncurkan layanan streaming mereka sendiri pada September 2019 dan juga akan memulai layanan ESPN+ di awal tahun depan. Bersamaan dengan itu, CEO Disney – Bob Iger, menyebut bahwa layanan streaming adalah “prioritas terbesar” perusahaan untuk tahun 2019. Perusahaan ini mengakhiri kesepakatan streaming dengan Netflix sehingga dapat meluncurkan platform berlangganan sendiri sebagai rumah streaming eksklusif bagi film-film Disney, acara TV, dan pemrograman asli lainnya. Banyak dari pemrograman asli yang direncanakan untuk Disney + bersandar pada waralaba perusahaan seperti Pixar, Marvel, dan Star Wars. Dan itu akan menjadi satu-satunya tempat untuk menonton film terbaru dari Disney setelah pemutaran perdana di bioskop. Hal ini akan dimulai dengan “Captain Marvel”. Tidak hanya itu, Iger mengungkapkan pada hari Kamis lalu bahwa layanan tersebut akan menampung seluruh perpustakaan film bergerak Disney segera setelah peluncuran.   

Disney belum mengumumkan harga untuk layanan streaming-nya. Tetapi diperkirakan biayanya akan lebih murah dibandingkan dengan Netflix.

Jadi, platform streaming mana yang akan paling menarik minat pengguna?whiteboardjournal, logo

The post Disney Hadirkan Layanan Streaming Bernama Disney+ September Mendatang appeared first on Whiteboard Journal.

Ai Weiwei Berniat Membeli 30 Ton Kancing dari Pabrik yang Akan Ditutup di UK

$
0
0

Teks: Vestianty
Foto: Dazed Digital

Dalam membuat karya seni, benda berukuran kecil sekalipun bisa berubah menjadi objek mengagumkan dan bermakna jika dieksekusi dengan tepat. Begitupun juga dengan sebuah kancing yang biasanya melengkapi beragam mode fashion. Walau kecil, perannya sangat berarti dalam pengenaan pakaian. Sepertinya seorang seniman dan aktivis kontemporer Tiongkok, Ai Weiwei, merencanakan untuk membuat karya seni baru ketika mendengar kabar bahwa 30 ton kancing dari pabrik Brown & CO Buttons terancam akan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).

Brown & Co Buttons yang berbasis di Croydon, London Selatan terpaksa ditutup karena penurunan penjualan. Pemiliknya, Stuart Brown takut bahwa “ratusan ribu” kancing yang tidak terjual di gudang harus dibuang. Paman buyut Brown mendirikan perusahaan tersebut lebih dari 100 tahun lalu yang berspesialisasi dalam pembuatan kancing plastik, logam, kaca, mutiara, dan kancing kayu zaitun, serta toggle kayu. Brown mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir klien besar seperti M&S dan Next menghentikan pembuatan pakaian di Inggris yang membuat penjualan semakin berkurang.

Namun, ketika permintaan bantuan pabrik ini untuk menemukan rumah baru bagi kancing-kancing itu dipasang di Twitter, berita itu di-retweet lebih dari 4.000 kali. Beberapa orang yang melihat kabar tersebut bahkan meminta kancing untuk dikirim ke negara mereka, termasuk AS dan Cina. Hingga pada akhirnya berita itu sampai pada Ai Weiwei, ia pun merespon dengan mengatakan “Bisakah aku mengambil semuanya?”

Tapi apa yang direncanakan Ai Weiwei dengan kancing-kancing itu? Sang seniman sebelumnya telah membuat instalasi dari jutaan biji bunga matahari porselen buatan tangan bertajuk “Sunflower Seeds” (2010), serta pernah bekerja dalam pembuatan karya seni dengan berbahan brick Lego dan kerang yang sangat banyak. Jika ada yang melakukan sesuatu dengan semua 30 ton kancing, tentunya Weiwei akan menjadi orang yang tepat untuk pekerjaan itu.

Menurut The Independent, Brown & Co Buttons mengetahui respons Ai Weiwei. Namun Sarah Janalli, dari perusahaan tersebut mengatakan bahwa mereka telah “dibanjiri” dan “kewalahan” oleh tanggapan dari berbagai orang, sehingga Ai Weiwei mungkin tidak mendapatkan 100% dari apa yang dia minta. “Kami tahu pasti bahwa tidak ada kancing yang akan masuk ke TPA,” kata Janalli. “Ini luar biasa.”whiteboardjournal, logo

The post Ai Weiwei Berniat Membeli 30 Ton Kancing dari Pabrik yang Akan Ditutup di UK appeared first on Whiteboard Journal.

Iringi Film “Kucumbu Tubuh Indahku”, Mondo Gascaro Garap Ulang Lagu “Apatis”

$
0
0

Foto: Mondo Gascaro

Merupakan salah satu original soundtrack bagi film terbaru Garin Nugroho, Mondo Gascaro selaku music director  “Kucumbu Tubuh Indahku” telah menggarap ulang salah satu lagu Inggrid Widjanarko yang dipopulerkan oleh Benny Soebardja. Disertai video klip, lagu “Apatis” ini sengaja digunakan oleh Gascaro berkat lirik lagunya yang menonjolkan semangat karakter film tersebut – pantang menyerah walau dilanda berbagai tantangan.

Berdasarkan kisah nyata, “Kucumbu Tubuh Indahku”, mengisahkan kembali perjalanan hidup Rianto melalui karakter Juno. Mengangkat isu-isu yang masih dilihat tabu oleh masyarakat Indonesia, penonton dapat melihat Juno yang menantang garis antara maskulin dan feminin sembari mengeksplorasi identitas seksualnya.

Maka dari itu, video klip “Apatis” bertindak sebagai adegan pembuka sebelum perilisan film ini di tanggal 18 April mendatang. Video klip yang disutradarai oleh Eddie Cahyono serta Fourcolours Film ini menceritakan kelanjutan kisah Juno secara unik melalui satu adegan Juno berpapasan dengan Gascaro di tengah perjalanannya.

Walau telah melahirkan berbagai film sebelumnya, OST “Kucumbu Tubuh Indahku” menandakan album soundtrack pertama yang dikeluarkan oleh Garin Nugroho. Album inipun tidak hanya digunakan untuk mengiringi film terbarunya, tetapi juga sebagai tribute untuk lagu-lagu legendaris seperti “Hanya Semalam” dan “Rindu Lukisan” karya Ismail Marzuki, juga tentunya “Apatis” oleh Inggrid Widjanarko dan Benny Soebardja.

“Kucumbu Tubuh Indahku” akan hadir di bioskop terdekat tanggal 18 April 2019 nanti. Sembari menunggu kedatangannya, album OST tersebut sudah dapat didengarkan via layanan streaming. whiteboardjournal, logo

The post Iringi Film “Kucumbu Tubuh Indahku”, Mondo Gascaro Garap Ulang Lagu “Apatis” appeared first on Whiteboard Journal.

Calvin Klein Kini Hanya Akan Berfokus Membuat Koleksi Denim dan Underwear

$
0
0

Teks: Vestianty
Foto: Elle

Pada akhir tahun lalu, diumumkan bahwa Raf Simons mengundurkan diri sebagai kepala petugas kreatif Calvin Klein. Sejak label ini melewatkan musim AW19 NYFW, publik telah menunggu berita tentang siapa yang akan menggantikan desainer di puncak label Amerika tersebut. Namun sekarang telah terungkap bahwa merek ini tidak akan lagi menyajikan runway collection ke depannya.

Merek fashion Amerika Calvin Klein telah mengumumkan bahwa mereka menutup bisnis koleksi mewahnya. Sebagai gantinya, mereka akan berfokus pada kategori yang ada, termasuk denim dan pakaian dalam. Itu terjadi setelah kepergian tak terduga direktur kreatif Calvin Klein, Raf Simons – sebelumnya Christian Dior dan Jil Sander – akhir tahun lalu. Perancang yang mengubah nama kategori dari Calvin Klein Collection menjadi Calvin Klein 205W39NYC, memotong kontraknya yang akan berakhir Agustus tahun ini tak lama setelah CEO perusahaan induk PVH Corp, Emanuel Chirico, mengatakan ia “kecewa dengan kurangnya pengembalian investasi kami di bisnis Calvin Klein 205W39NYC.”

Setelah keluarnya Simons, perusahaan mengatakan pada bulan Januari bahwa mereka berencana untuk mengubah citra dan mencari pengganti. Keputusan mereka untuk sekarang ini adalah menghentikan koleksi seluruhnya, serta menutup toko di New York yang dilaporkan akan menghasilkan 100 redudansi di seluruh New York dan Milan, Italia. Ada juga rencana untuk menutup kantornya di Milan.

Dikutip dari Guardian, sebuah sumber mengatakan bahwa merek ini masih berencana untuk memproduksi pakaian VIP untuk red carpet dan sedang mencari satu orang untuk mengambil tanggung jawab untuk desain-desain itu serta kategori yang tersisa. Belum diputuskan apakah mereka akan hadir di NYFW pada bulan September mendatang. Sumber itu mengatakan bahwa label “tidak akan berjalan jauh dari produk aspiratif sebelumnya, namun melihat label melalui lensa yang berbeda”.

Simons yang bergabung dengan perusahaan pada tahun 2016 dan diberi kendali kreatif penuh atas lini-lini produk, termasuk Calvin Klein Collection, Calvin Klein Platinum, Calvin Klein, Calvin Klein Jeans, Calvin Klein Underwear dan Calvin Klein Home dengan tujuan untuk menyatukannya di bawah satu penglihatan. Selain mengubah nama, di bawah Simons, set runway yang dipenuhi popcorn lengkap dengan latar gudang yang berhasil menyuguhkan sesuatu yang berseni, terarah, serta membangkitkan pemikiran untuk Fall NYFW 2018 bagi label ikonis, Calvin Klein.

Apakah langkah yang diambil Calvin Klein ini mampu membuatnya tetap berkarakter sebagai sebuah brand?whiteboardjournal, logo

The post Calvin Klein Kini Hanya Akan Berfokus Membuat Koleksi Denim dan Underwear appeared first on Whiteboard Journal.

Membahas Nostalgia Lewat Album Agterplaas Bersama The Adams

$
0
0

Memerlukan waktu 13 tahun bagi The Adams unit power pop asal Jakarta, untuk akhirnya merilis album ketiga mereka “Agterplaas” setelah “V2.05” di tahun 2006. Meskipun demikian, The Adams masih menjadi salah satu nama yang tidak lekang oleh waktu dan masih aktif meramaikan rangkaian acara-acara musik di ibukota. Setelah mempopulerkan lagu “Konservatif” lewat film “Janji Joni”, “Halo Beni” hingga “Hanya Kau” yang menjadi soundtrack anak muda di tahun 2000-an, kini The Adams mencoba untuk menjadikan memori sebagai narasi di album terbaru mereka.

Akhirnya menghitung hari menuju perilisan album baru ketiga The Adams, “Agterplaas” setelah album V2.05 di tahun 2003. Bagaimana perasaan kalian yang akhirnya sukses merampungkan album yang sebenarnya sudah direncanakan sejak sepuluh tahun lalu?

Saleh (S): Buat saya pribadi cukup puas meskipun sebenarnya kalau bahas dari segi audio, kami tidak akan pernah puas (tertawa). Puas dengan sound-nya, dengan ruang yang dibuat oleh suaranya, baik dari mixing dan mastering-nya hingga akhir hasilnya cukup bold, dan lebih kekinian. Mungkin akan sadar setelah kalian mendengarkan kembali album-album sebelumnya, karena album baru ini rasanya lebih detail namun juga lebih sederhana. Karena kalau kita lihat kembali, ambil contoh di album kedua, rasanya cukup kompleks, dalam arti komposisi di setiap lagu tuh backing-nya gila-gilaan, ibarat kata seperti baru bisa belajar bernyanyi.

Ario (A): Seperti orang baru belajar silat sih, semua jurus dikeluarkan. (tertawa)

S: Persis, sekarang di album ini personel kami sudah kembali lengkap, jadi kami pun ikut memikirkan hingga ke soal live performance-nya juga. Kami mencoba untuk memberi ruang-ruang untuk pendengar agar bisa berpikir. Karena sebenarnya ruang, jeda atau nada istirahat itu merupakan bagian dari musik, jadi perlu diapresiasi. Tetapi di samping kesederhanaan itu, kami juga sempat merasakan kesulitan sebagai yang memainkan lagu, mungkin karena keterbatasan skill. Di luar itu menurut saya ujung-ujungnya hanya karena kami belum terbiasa saja membawakan lagu-lagu tersebut secara live. Karena nantinya mau lagu sesulit apapun kalau sering kami bawa latihan pasti lama-lama akan terbiasa. Seperti Kiting contohnya, dulu tidak pernah bernyanyi, sekarang jadi malah mengisi vokal di satu lagu dan itu dia yang minta (tertawa).

Gigih (G): Itu bohong (tertawa).

S: Porsinya juga sekarang sudah dibagi-bagi, karena biasanya ‘Ario-minded’, dia yang bernyanyi terus atau jadi main vokal, sisanya jadi backing.
Kalau bahas dari segi audio, kami tidak akan pernah puas.
A: Sekarang semua sudah pada percaya diri buat nyanyi, meskipun ya segitu-gitu saja (tertawa).

S: Intinya kalau ditanya puas atau tidak, saya puas dengan hasil dari sekian lama ini. Tetapi saat kami sudah memasuki proses akhir dari produksi lagu, terkadang suka merasa ada kurang enak atau apa lah. Karena revisinya dari kami juga, jadinya “eh Yo kayanya nambah synthesizer deh atau apa” kemudian berujung jadi menambahkan lagu juga. Makin mendekati akhir, terus bertanya, “kita mau ngisi berapa nih? 10 lagu? Enggak, 11?” Eh jadi 12 dan lama-lama stoknya jadi banyak dan kami tahan dulu.

A: Tidak boleh kelebihan stok, karena nanti jadi murah, di teori ekonomi begitu soalnya.

S: Selain itu, kami pun turut bekerja sama dengan salah satu seniman untuk mengerjakan boxset-nya. Bisa dibilang boxset ini adalah karya seni rupa yang nantinya para pembeli pun bisa memajangnya di rumah. Sekarang ini prosesnya sedang diproduksi, harapannya semoga agar selesai tepat waktu dan dengan kualitas yang bagus. Tapi sebenarnya yang ada di kepala saya tuh lebih bagaimana nanti penampilan live-nya, konsentrasinya di situ.

A: Saya yakin pertanyaannya sudah terjawab semua nih sepertinya (tertawa). Kalau Ale kan jawabanya lebih filosofis, sedangkan saya sederhana. Dengan dirilisnya album ini nanti, saya merasa seperti bayar hutang karena terlalu sering ngomong mau mengeluarkan album baru. Takut dosa.

Pandu (P): Kalau saya sampai di tahap mastering sudah puas. Meskipun banyak maunya, tapi tetap bisa kami handle.

S: Dan juga mempercayakan sound dengan Ario. Kami percaya sama Ario seperti kami percaya dan menyerahkan segala perdokumentasian dengan Kiting, kecuali dia mengajak kami berdiskusi.

Selain terhambat karena kesibukan masing-masing personil, adakah faktor-faktor lainnya yang juga turut menghambat proses pengerjaan album ini?

A: Duit lah. Budget. Padahal kami buat studio dengan harapan bisa rekaman lebih murah, tapi ternyata tidak juga. Karena sebenarnya justru budget produksi paling besar ada di makanan atau food & beverage (tertawa). Intinya uang jadi salah satu faktor, makanya itu alasannya kenapa di 2 tahun belakangan kami sering manggung, itu karena kami sedang mengumpulkan uang. Karena produksinya tidak berhenti hanya pada rekaman saja, akhirnya dari sana kita jadi bisa sampai mengeluarkan boxset dan mengadakan launching yang ternyata memerlukan dana yang juga lumayan.

Mengingat sudah ada beberapa materi yang dipersiapkan sejak lama, adakah perubahan arahan musik selama prosesnya, atau memang telah disesuaikan dengan target kalian sejak pertama merencanakan album ketiga ini?

S: Disesuaikan semuanya, tidak ada target. Contoh pada prosesnya, lagu dibuat, ada demo, belum ada lirik, belum ada aransemen yang full, masih kering sekali, kemudian kami bawa latihan atau mainkan secara live, main bareng lalu mulai rekaman. Kemudian misalnya take drum, sebenarnya kan sudah ada guide-nya untuk satu lagu, tapi saya dan Ario atau dengan Pandu atau Pandu dan Ario, kami tidak akan mengikuti guide-nya (tertawa). Jadinya berkembang, setelah di take, kita dengarkan lalu “Wah sudah nih? Segitu aja?” Kiting ‘panas’, dicoba lagi deh dari awal, Kiting bilang “mau ngisi lagi di bagian ini, begini” gitu. Selalu ada saja yang kemudian diubah kembali atau justru dikembalikan ke awal setelah coba diubah (tertawa). Belum lagi kalau ada data hilang dan itu pun baru take drum, belum gitar dan bass.

A: Belum vokal, vokal juga bisa ganti backing.

S: Biasanya kalau sudah take, akan dikirim ke semua lalu semua mendengarkan lalu masing-masing akan “kira-kira kurang apa ya?”. Sebenarnya itu pun memancing kenakalan tiap personel juga.

A: Itu juga sebenarnya yang menjadi faktor tertundanya. Itu adalah kelemahan dan kelebihan rekaman di studio sendiri, jadi banyak maunya.

Meskipun butuh waktu yang lama untuk merampungkan album ketiga ini dan secara produksi juga aransemen jauh lebih kaya dan matang, tapi The Adams terlihat masih setia dengan formula lama seperti distorsi gitar, lirik sederhana, dan harmonisasi. Apa yang membuat kalian memilih untuk tetap mempertahankan hal tersebut?

A: Sebenarnya kita bukannya mempertahankan tetapi memang bisanya segitu saja (tertawa). Jujur saja ya, orang-orang mungkin berpikir kompleks bahwa The Adams begini atau begitu, sebenarnya ya sesederhana itu. Kami bisa buat pecahannya seperti ini, ya sudah kami coba buat lagi, atau kenapa masih dengan distorsi lagi? Karena kalau kami main clean tidak enak. Makanya akhirnya formulanya jadi terlihat begitu-begitu saja.

S: Dan selain itu, kami balik bertanya ke diri sendiri, bisanya apa? Menurut saya itu juga menjadi salah satu poin penting. Misalnya Pandu, bisanya melakukan apa? Main bass, dengan keadaan sedang bermain bass kira-kira bisa sambil bernyanyi tidak ya? Karena ini akan sedikit rumit, terus Pandu akan minta latihan dulu biasanya dan kalau ternyata bisa, oke berarti di take dan dari situ pun sudah kebayang nantinya saat manggung, “oh nanti akan ada vokal nih di situ.”

P: Diperhitungkannya sudah sampai sejauh itu.

A: Pemikiran bodohnya sih biar kalau dibawa ke live performance masuk akal tidak nih? Karena kami berkaca dari album kedua. Sebenarnya album kedua pun bisa dibawakan penuh dengan harmonisasi seperti itu, hanya saja terkadang kan ada faktor-faktor eksternal yang membuatnya jadi tidak bisa. Contohnya sedang manggung keluar kota dapat mic-nya hanya 3 buah, lalu bagaimana nih? Jadinya tidak semua bisa bernyanyi.

S: Sementara vokal tersebut merupakan bagian dari chord-nya jadi kalau tidak ada satu, mau tidak mau buat aransemen harmoni baru agar bisa mengcover kekurangan tersebut, setidaknya suasananya sama lah.

Adakah ketakutan dengan menggunakan formula yang sama, musik The Adams hanya akan diterima kembali oleh fans lama?

S: Kami tidak terlalu memikirkan itu. Paling tidak yang sekarang ada di pikirkan kami adalah kami punya unit musik namanya The Adams, ya kami tinggal bikin karyanya saja atau apa yang bisa kami buat.

A: Karena pada dasarnya semua seniman atau karya seni itu individualis, walaupun sebenarnya konsepnya kolaboratif seperti saat bikin musik atau lagu, jadi seharusnya kami tidak perlu memikirkan hal tersebut. Buat saya, kami justru harus memikirkan kami senang atau tidak dengan karyanya, lalu ketika dilempar ke publik, ya tinggal bagaimana mereka menanggapinya.

S: Betul, yang penting kami fun dan enjoy tidak menjalaninya. Bahkan saya sampai berpikiran setelah 13 tahun masa cuma mengeluarkan CD saja? Terus saya bilang ke anak-anak “nggak jadi rilis aja yuk, kita buat materi terus saja” saat akhir-akhir, karena saya merasa “sudah nih? Sampai sini aja?”.

Yang kami mau angkat di album ini adalah soal memori atau nostalgia.

A: Menurut saya itu bukan tugas dari musisi untuk memikirkan hal tersebut. Seperti sesederhana genre pun dulu setiap ditanya kami tidak pernah tahu apa aliran musik yang kami mainkan, hingga akhirnya David Tarigan yang kemudian mendeskripsikannya sebagai power pop. Setelah diberikan label itu pun kami kemudian bertanya-tanya “oh power pop ya? power pop tuh kaya gimana ya?” Akhirnya mencari-cari bareng Ale, oh ternyata begini ya ternyata musik kami.

S: Intinya kami kembalikan lagi ke fansnya, kalau di kami sebenarnya sudah senang semoga dengan kesenangan yang kami buat ini, bisa sampai ke teman-teman. Kalau kami sendiri sudah nyaman dan senang, baik dari apa yang kita hasilkan sampai ke pertunjukan langsungnya, selebihnya kami anggap bonus. Sebenarnya yang kami mau angkat di album ini adalah soal memori atau nostalgia. Jadi kalau tadi pertanyaan album ini akan diterima oleh fans lama saja menurut saya justru tidak juga, karena yang baru pun bisa saja kena dengan memori-memori apapun. Situasi, momen, peristiwa, atau bahkan apa yang terjadi dengan mereka hari ini.

Hadir dengan formasi baru, adakah perubahan yang The Adams rasakan dengan bergabungnya Pandu Fathoni sebagai personil baru? Dan juga sebaliknya mungkin? Mengingat Pandu pun punya beberapa proyek musik lain selain The Adams.

G: Sebenarnya tidak ada perubahan, kalau saya melihatnya mungkin lebih ke energinya saja ya. Karena kan dulu sempat kosong lama sekali, bahkan di grup chat kami pun sepi, jadi saya biasanya yang harus mengunjungi langsung ke tempat Ario, Ale atau Almarhumah. Lalu saat Apoy cabut, kebetulan saya bertemu dengan Pandu dan sempat nongkrong lama sama dengan dia.

P: Iya, kemudian saya bertanya “gimana Ting, The Adams?”

G: “Wah pas banget nih” saya bilang. Karena kalau mau tahu ya, grup chat itu hanya ramai ketika ada perayaan ulang tahun saat itu. Semuanya akan mengucapkan “selamat ulang tahun!”, sudah, kemudian sepi kembali, paling juga pada saat bulan puasa. Jadi kurang lebih setahun sekali lah ya ngumpulnya selama 13 tahun (tertawa). Akhirnya pas ketemu Pandu, saya buka obrolan di grup “eh ada Pandu nih, bisa kali latihan”. Ya sudah, setelah itu mulai latihan dan jalan lagi, pecahnya di acara Jaya Pub (2014).

P: Sebelum manggung, saat latihan pas banget ada Indra Ameng terus dia mengajak kita main.

S: Nah, sebenarnya Ameng pun bertanya ke saya dulu, “The Adams apa kabar?” sama seperti pertanyaan Pandu. Terus saya bilang “lagi latihan lagi nih, di bantu Pandu” terus Ameng menyuruh kita untuk main di Superbad.

G: Makanya saya merasa memang karena ada energi baru, yang tadinya santai dan sampai tidak tahu mau ngapain eh tiba-tiba bertemu Pandu, ya sudah bisa jalan lagi. Alhamdulillah.

P: Senang sekali rasanya, ikut dari tahun 2014 akhirnya bisa sampai di tahap mastering sekarang.

Lirik merupakan salah satu daya tarik yang dimiliki oleh The Adams dan sekali lagi di album baru ini hampir/semua materi menggunakan bahasa Indonesia. Seperti apa proses kreatif penulisan lirik The Adams? Adakah sosok atau sesuatu yang dijadikan inspirasi di balik lirik-lirik sederhana The Adams? Contohnya Cholil yang banyak terinspirasi dari pilihan kata-kata di koran misalnya pada penulisan liriknya.

A: Bicara soal musiknya dulu, The Adams kebanyakan proses berkaryanya dimulai dari buat musik, lirik bagian terakhir tapi tetap biasanya sudah ada melodi untuk bagian vokalnya. Berangkat dari situ kemudian kita observasi tema apa yang cocok atau main “round robin”. Jadi ditulis dulu sekilas, kemudian dibaca lalu saling tanya, “ini ngomongin apa ya?” kurang lebih begitu.

P: Kolase.

A: Dan untuk lirik di album baru, rata-rata hasil kolaborasi dari nulis bareng. Masing-masing menyumbang beberapa kata.

S: Metodenya sih lebih ke kolase, ada yang bawa per paragraf atau sudah jadi beberapa bait.

A: Tapi tetap kemudian ada perombakan-perombakan, karena kadang kali bertemu dengan kalimat atau kata-kata yang sudah bagus tetapi saat dinyanyikan kok jadinya tidak enak ya. Kemudian kami ganti kata lain, begitu.

S: Kami pun mengusahakan untuk tidak terlalu berat alias seringan mungkin.

A: Situs-situs “rima kata” sangat membantu pada pengerjaan penulisan lirik kami ya (tertawa).

S: Intinya benar kata Ario, kami gambarkan dulu kira-kira kalau kami dengar lagu ini tuh lagi bagaimana ya, suasananya seperti apa ya, jadi seperti ada scene di kepala kami. Dan scene ini bisa dituliskan, dan disitulah peran semua personel karena semua bisa ikut menyumbang. Biasanya kami tulis di satu kertas kemudian saling melanjutkan. Jadi persis, seperti kolase kalau membahas metode. Nyambung-menyambung atau menjahit kata, yang tiba-tiba bisa kami naik atau turunkan perbaitnya, yang awalnya pembuka jadi penutup atau sebaliknya atau ganti katanya karena tidak enak nyanyinya. Meskipun ada juga yang sudah full ditulis oleh Ario misalnya seperti lagu “Timur”, atau Pandu, tapi kalau ada yang kurang tepat kemudian diganti bareng-bareng, kurang lebih seperti itu prosesnya.

A: Atau membuat lagu pesanan, misalnya Ale ngasih saya lagu apa, kemudian saya diminta untuk membuat lagu seperti itu. Ya saya sanggupi untuk membuat lagu pesanan Ale.

G: Ahensi (tertawa).

S: Ada ahensi khusus bikin musik, mirip scoring gitu lah modelnya. Kita mencoba, kira-kira bisa tidak ya proses kreasinya seperti itu? “Yo bikin lagu yang kaya gini dong, flat tapi enak banget, bisa nggak?” Eh tidak tahunya besok jadi, hebat. Dan setelah kami dengarkan, saya langsung terbayang liriknya akan seperti apa. Setelah itu, saat saya mau pulang dari studio sekitar jam empat pagi, momennya sedang berada di jalan tol, saya langsung nyanyi-nyanyi sendiri di iringan lagu buatan Ario.

A: Yoi, setelah itu Ale langsung menghubungi saya, bilang mau ke rumah keesokan harinya karena dia sudah menulis sebagian lirik. Kalau tidak salah Ale sudah menyiapkan 2 kalimat, kemudian kita kerjakan kurang lebih dua putaran lagu untuk lirik “Dalam Doa”. Katanya Ale saat menulis lirik ini kepikiran ibunya, pokoknya jadi lah dalam semalam itu. Plus jadi satu lagu lagi (tertawa).

S: Intinya pada malam hari itu suasananya produktif. Makanya saya sering menyinggung, 13 tahun cuman rilis CD aja nih? (tertawa).

A: Padahal saya sempat mengusulkan untuk membuat album MP3 berisikan ratusan lagu (tertawa).

S: Terakhir kalau membicarakan soal proses kreasi lirik, sesederhana misalnya kita lagi jalan dengan kondisi yang sedang sangat lelah, harus menempuh perjalanan pulang yang terkadang treknya hanya lurus saja, di tambah sambil mendengarkan musik, pasti secara tidak langsung akan membawa kami ke sebuah situasi. Balik lagi kan ke memori, jadi seperti ada sejarah di belakang yang membuat kami jadi merasakan sesuatu. Misalnya dalam kasus lagu “Dalam Doa” saya sedang merindukan ibu saya karena kedua orang tua sudah tiada. Di luar itu, di kepala pun sudah terkonstruksi, seandainya saya membuat lagu yang seperti ini, lagu tersebut tidak hanya akan relate dengan kondisi saya tapi juga bisa buat orang lain, yang mungkin rindu dengan teman atau sahabat lamanya.

A: Kurang lebih seperti “Masa-Masa” dengan versi berbeda.

Apakah penggunaan bahasa mempengaruhi daya tarik atau ketenaran sebuah band? Kalau dalam kasus materi-materi The Adams seperti apa? Apa yang membuat The Adams memilih menggunakan bahasa Indonesia?

A: Sebenarnya tidak terpikirkan ya, bebas-bebas saja. Kenapa memilih menggunakan bahasa Indonesia karena kami sadar semua personel tidak fasih dengan bahasa Inggris. Meskipun sebenarnya ada satu lagu yang awalnya menggunakan bahasa Inggris, tapi kok rasanya tidak enak ya? Jadi saya pikir, ya sudah bahasa Indonesia saja lah.

G: “Masa-Masa” awalnya berbahasa Inggris.

A: Kami biasanya kalau buat guide selalu menggunakan bahasa Inggris, karena paling mudah sebenarnya.

S: Karena buku-buku yang kami baca berbahasa Inggris (tertawa).
Menggunakan bahasa Indonesia lebih ada tantangannya.
A: Karena bahasa Inggris itu patahan katanya lebih mudah, contohnya kalau “saya” bisa pakai “I” kalau kamu bisa pakai “you” jadi lebih sederhana. Tapi buat saya menggunakan bahasa Indonesia lebih ada tantangannya, terutama untuk membuat lirik dengan bahasa Indonesia yang tidak norak. Karena kalau bahasa Inggris, meskipun jika di artikan sebenarnya norak, tetap tidak demikian ketika didengar. Misalnya “I miss you”, “aku rindu kamu” atau “I love you”, “saya cinta kamu”, rasanya kalau menggunakan bahasa Inggris kemungkinan untuk ngelesnya lebih mudah. Makanya kenapa dengan bahasa Indonesia lebih menantang, karena kami juga dihadapkan dengan cara atau kemampuan kami mengolah kata untuk mengungkapkan suatu perasaan dengan tidak vulgar.

S: Selain itu bahasa Indonesia juga turut menghadirkan eksplorasi pemenggalan kata, contohnya seperti “se iya se ka ta”.

Itu kalau untuk kasus materi kalian, bagaimana dengan band-band lokal kebanyakan?

A: Ada kemungkinan seperti itu. Tergantung bandnya juga, kalau musiknya bagus, liriknya bagus, pasti bisa-bisa aja disukai banyak orang.

S: Misalnya kalian mendengarkan Sore, Efek Rumah Kaca (ERK) atau Bin Harlan deh. Mungkin ERK liriknya masih bisa kita temukan di buku atau koran, tapi tidak dengan lirik-lirik Bin Harlan. Menurut Bin Harlan musik itu bisa memperlihatkan perkembangan bahasa atau literasinya. Meskipun ada juga sebagian orang yang merasa kalau lirik itu ada standarisasinya. Contohnya seperti lagu “Pelantur”, orang-orang mikirnya The Adams  membahas politik, padahal sebenarnya ini tentang obrolan di warung kopi.

A: Pada ngelantur dan debat merasa yang paling benar, padahal tidak ada makna sama sekali dari perdebatan tersebut, dan setelah balik ke rumah pun belum tentu kepikiran lagi (tertawa).

Sebagai band lama, apakah The Adams mengikuti perkembangan band-band baru hari ini? Dan bagaimana pendapat kalian tentang industri musik Tanah Air? Mengingat hari ini batasan antara major dan independent semakin melebur.

A: Band-band baru banyak yang bagus pasti. Tiap tahunnya musik dan teknologi selalu berkembang, tidak heran kalau juga mulai bermunculan alat-alat baru. Dulu di era klasik, sulit rasanya membuat musik seperti yang kita putar di turntable karena semua masih dikerjakan secara analog. Tapi sekarang kan sudah berbeda, kita pasti menemukan hal-hal baru. Dan kalau membahas soal orisinalitas, hari ini mah sudah tidak ada yang orisinil karena semua pasti terinfluence dengan yang lain. Sadar atau tidak, hal tersebut lah yang seringkali membuat kita membandingkan band yang satu dengan yang lainnya.

Misalnya kita ngomongin soal Barasuara, Scaller, The Panturas, Grrrl Gang, terus membahas soal industri atau independen, itu sama saja seperti membahas band lokal dan internasional yang sebenarnya pun sudah absurd bagi saya. Karena menurut saya, ketika kita menaruh lagu di platform streaming online, sudah otomatis jadi band internasional – menurut saya. Intinya sudah tidak ada batasan. Kalau membahas musik ya bahas musiknya saja, musik bagus ya musik bagus saja, tidak perlu “wah ini band major atau ini band independen.”

S: Sebetulnya kalau mau berkaca ke tahun 2000-an, memang sudah tidak ada lagi sebutan-sebutan seperti itu. Sudah pernah dibahas kok sama Ade Paloh, Jimi Multhazam dan kawan-kawan, kita buat musik ya buat musik yang bagus saja, jadi sebenarnya hanya ada musik yang bagus dan tidak, selesai. Bahkan kalau di major label ada yang bagus ya bagus saja, jadi kita tidak bisa mengatakan kalau independen lebih bagus daripada musik major atau sebaliknya.

Ketika kita menaruh lagu di platform streaming online, sudah otomatis jadi band internasional.

A: Beda kalau kita bahas soal produksi, kalau dulu mungkin kita bisa membedakan mana band dari label besar dan dari label kecil. Saat manggung misalnya, wah itu sangat jumping sekali ya, bisa sangat terlihat mana yang ditangani oleh orang-orang pro dan yang DIY. Nah kalau sekarang hampir tidak bisa dibedakan, band-band independen banyak yang punya kualitas tidak kalah dengan band-band major hari ini. Kita ambil contoh seperti di panggung Soundrenaline, kita nonton Padi atau Sheila on 7, lalu nonton Barasuara, BurgerKill atau Seringai, hampir tidak ada bedanya. Bisa dibilang sekarang orang-orang DIY sudah banyak yang mengemuka karena sudah bisa belajar sendiri. Kalau dulu akses dan eksplorasi terbatas dan karena keterbatasan itu referensi kita pun jadi terbatas.

S: Misalnya kita sudah punya karakter musik sendiri nih, kemudian ada yang baru pulang dari luar negeri, bawa banyak piringan hitam langsung kita dengarkan bersama-sama. Misalnya mendengarkan band psikedelik, dari kesempatan seperti itulah biasanya  baru dapat referensi baru. Terus biasanya yang pegang instrumen A langsung mengomentari instrumen A di lagu yang sedang kita dengarkan bersama-sama.

P: Seru lah nontonin band-band baru zaman sekarang.

A: Betul, karena sekarang pun mulai aware sampai ke teknis produksinya.

S: Termasuk variabelnya nih. Kalau di tahun 2000-an ada banyak sekali band tapi dari tiap band tersebut tidak ada yang alirannya sama. Terlepas dari tren yang memang pada saat itu mungkin enggan untuk sama dengan yang lainnya, misalnya band rock, pasti spesifik rock yang seperti apa.

A: Padahal mereka pun tidak mencoba untuk membuat sesuatu yang berbeda, saya yakin.

S: Nah sekarang, variabelnya jadi lebih banyak lagi, harusnya tahun 2000-an itu membawa pengaruh yang baik ya.

A: Saya rasa The Adams pun cukup beruntung karena terlahir di era tersebut.

Apa rencana selanjutnya setelah merilis album Agterplaas?

A: Tur sih, iya tidak? Eh tapi kalau kemauan dan rencananya sih banyak, tapi kan tidak ada yang tahu. Maunya sih tur dan bisa membawa album ini keliling Indonesia, kalau bisa keluar Indonesia ya, Alhamdulillah.

S: Betul, inginnya tur biar bisa ketemu banyak orang, pendengar dan network baru. Atau buat semacam screening video proses pembuatan album ini. Sebenarnya album ini seperti alibi untuk bisa berteman dengan banyak orang baru.

A: Sederhananya saya sudah bisa berkarya lagi, buat album, dan jadi momen pecah telor sekali. Maksudnya bermain musik bersama The Adams selalu menjadi alter ego saya, di saat di kehidupan nyatanya saya harus bekerja dan di sini lah ladang kesenangan saya. Misalnya ketika lagi dengerin lagu apa gitu, saya kemudian bilang sama diri saya sendiri harusnya bisa nih buat yang seperti ini, masa sih tidak mau buat juga? (tertawa). Intinya saya dan teman-teman sudah berkarya sedemikian mungkin sisanya bonus dan kita serahkan ke pendengar. Karena pada hakikatnya band ini diciptakan bukan untuk mencari nominal melainkan bersenang-senang.

S: Selama masih bisa bersenang-senang kenapa tidak.whiteboardjournal, logo

The post Membahas Nostalgia Lewat Album Agterplaas Bersama The Adams appeared first on Whiteboard Journal.


Menyebarkan Gambar Dengan Pesan Kriptik, Apple Rencanakan Pengumuman Layanan TV Baru

$
0
0

Foto: Apple

Setelah meramaikan dunia teknologi beberapa bulan ini guna spekulasi akan pengeluaran produk baru, Apple akan mengadakan acara pengumuman tanggal 25 Maret nanti. Masih diselimuti misteri, kiranya acara ini akan bertindak sebagai pengumuman untuk proyek Apple News dan layanan TV teranyarnya.

Spekulasi tentang munculnya program baru untuk Apple ini dimulai di awal tahun ini, kala Apple menyatakan bahwa mereka akan lebih fokus terhadap perkembangan rangkaian servis yang ditawarkan. Setelah statement tersebut, Apple pun langsung dilanda rumor dan spekulasi mengenai perkembangan proyek TV yang kabarnya akan menyaingi Netflix dan layanan streaming lainnya.

Sebagai pengantar untuk acara ini, Apple sudah menyebarkan undangan kepada berbagai media dan klien VIPnya. Namun, undangan untuk acara ini pun tidak disertakan detail mengenai isi dari acara itu sendiri. Hanya menampilkan tagline yang sama saat pengumuman Apple TV di tahun 2006, hal tersebut semakin mendukung teori publik akan peluncuran program baru ini.

Melihat kesuksesan layanan streaming seperti Hulu, Netflix dan Amazon, tidak butuh waktu lama bagi Apple untuk mengembangkan layanan streaming sendiri. Namun, melihat kesuksesan Netflix sebagai layanan streaming terkemuka dalam beberapa tahun ini, Apple benar-benar harus menawarkan program unik dan spesial untuk dapat mengalahkan kejayaan Netflix. Bagaimana mereka akan mencapai hal itu? Kita masih harus menunggu sampai tanggal 25 Maret nanti. whiteboardjournal, logo

The post Menyebarkan Gambar Dengan Pesan Kriptik, Apple Rencanakan Pengumuman Layanan TV Baru appeared first on Whiteboard Journal.

Gairah Sepakbola Women’s World Cup 2019 Dihadirkan Nike dalam Desain Kit Inovatif

$
0
0

Teks: Vestianty

Foto: Dezeen

Nike baru saja mengungkapkan tampilan kostum sepakbola terbaru untuk 14 tim nasional jelang Piala Dunia Wanita FIFA tahun ini di Prancis. Perlengkapan untuk negara AS, Australia, Kanada, Inggris, Prancis, Tiongkok, Afrika Selatan, Chile, Belanda, Korea Selatan, Nigeria, Brasil, Selandia Baru, dan Norwegia diluncurkan pada acara global di Paris pada 11 Maret lalu, di mana perwakilan dari masing-masing tim hadir untuk memodelkan potongan-potongan seragamnya.

Ini adalah pertama kalinya sejak Nike mulai bekerja sama dengan Piala Dunia Wanita ini pada tahun 1995 bahwa setiap kit telah dirancang khusus untuk tim wanita, bukan sebagai derivasi dari seragam yang dibuat untuk pria. “Kami percaya musim panas ini bisa menjadi titik balik lain bagi pertumbuhan sepakbola wanita,” kata presiden dan CEO Nike, Mark Parker. Ambisi besar dari label ini adalah agar energi dan partisipasi seperti pada pertandingan piala dunia ini bisa meluas ke semua cabang olahraga. Parker mengatakan bahwa komitmen Nike adalah untuk melanjutkan dukungan utama mereka terhadap para atlet kompetitif, berinvestasi pada generasi berikutnya di tingkat mendasar, serta memberikan desain produk lebih inovatif dan menarik bagi perempuan.

Turut dalam upaya Nike untuk menjadi “merek olahraga paling berkelanjutan di dunia”, setiap kit nasional dalam seri ini terbuat dari 12 botol plastik daur ulang. Di antara 14 kit tim yang diluncurkan di Palais Brongniart, Nike mempersembahkan kit kandang dan tandang yang menelusuri nilai-nilai budaya dari masing-masing negara peserta. Seperti Inggris untuk The Lionesses, perlengkapan hadir terinspirasi oleh estetika Asosiasi Sepak Bola Inggris. Oleh karena itu, merek olahraga ini mengambil kit berwarna putih tradisional serta menonjolkannya dengan manset merah gelap. “Tampilan putih memberikan aura kekuatan dan kemurnian. Minimalisme ini diterjemahkan sebagai kecanggihan dan kepercayaan diri – sempurna untuk tim ini,” kata Cassie Looker, pemimpin pakaian sepak bola Nike Women’s. Di sisi lainnya, kit untuk tandang benar-benar berwarna merah tua dengan pola samar flora asli Inggris, termasuk poppy dan primrose.

Tak berbeda jauh dari Inggris, koleksi tim sepak bola nasional wanita AS menampilkan perlengkapan rumah serba putih yang dirancang untuk menyalurkan energi tahun 1999 yang pada tahun itu menjadi tuan rumah dan memenangkan turnamen. Kit ini memiliki manset lengan bergaris, dimaksudkan untuk membangkitkan seragam yang dikenakan pada tim 1999 dan “semua kejayaan kejuaraannya”, serta diselingi dengan tiga bintang di atas puncak untuk mewakili tiga kemenangan Piala Dunia tim pada 1991, 1999 dan 2015. Semangat tema 90-an pun juga diikuti oleh perlengkapan bagi Australia yang didasarkan pada seni jalanan di Hosier Lane dan menampilkan percikan hijau hutan, putih, dan mustard. Untuk tim Prancis, yang menjadi tuan rumah kejuaraan tahun ini, Nike memilih kemeja biru tradisional dengan detail rose gold untuk pertandingan kandang, dengan lambang Tricolore kecil di bagian lengan. Di tempat lain, Korea Selatan, Chili, Nigeria dan Afrika Selatan meminta agar perlengkapan mereka menampilkan desain sama dengan yang dipakai oleh tim putra di Piala Dunia 2018.

Dengan turut menjalankan semangat kepeduliannya akan lingkungan, Nike kembali hadir untuk menjadi bagian utama dalam perkembangan olahraga dunia dengan menghadirkan kit yang tidak hanya nyaman ketika digunakan, namun juga terpatri nilai-nilai budaya berarti bagi masing-masing negara. Akan seperti apa serunya pertandingan ini? Mari nantikan kejuaraan ini yang akan berlangsung selama sebulan ,ulai 7 Juni  hingga 7 Juli nanti.whiteboardjournal, logo

The post Gairah Sepakbola Women’s World Cup 2019 Dihadirkan Nike dalam Desain Kit Inovatif appeared first on Whiteboard Journal.

Who, What, Why: Jessica Candradi

$
0
0

WHO

Berasal dari Surabaya, Jessica Candradi adalah seorang fashion fotografer dan creative yang dikenal melalui konsep fotonya yang earthy sekaligus nostalgic. Dibekali latar belakang sebagai pastry chef, hal tersebut telah menciptakan karakter khas baginya. Berkat keunikan itu, kini Candradi telah menjadi salah satu fotografer muda Indonesia yang cukup diincar dalam dunia fashion lokal, juga mancanegara.

WHAT

Walau mempunyai latar belakang sangat berbeda dari fotografi, Candradi tetap gencar mengejar ketertarikan ini. Setelah menemukan gaya artistiknya, ia menciptakan proyek personal bertajuk “Untitled Movie Stills” – diisi dengan berbagai cerita visual yang memancarkan tema retro melalui nada sepia juga hitam putih. Melalui “Untitled Movie Stills”, Candradi mendapat kesempatan memperkenalkan diri ke ranah internasional lewat serangkaian pameran dari Sydney, New York sampai Miami, yang akhirnya dapat ia kembangkan menjadi sebuah buku.

Selain proyek personalnya ini, ia juga mempunyai suatu kolektif bernama “Kitakami” yang menawarkan servis prewedding, fashion shoots dan masih banyak lagi. Sebagai cabang dari usaha ini, ia juga terlibat dalam fashion brand “Satoo”, yang masih jatuh di bawah naungan Kitakami.

WHY

Candradi pertama menyadari ketertarikannya terhadap fotografi saat masih duduk di bangku kuliah, tepatnya di Melbourne Australia. Walau mempelajari subjek yang sangat berbeda dari fotografi yakni pastry dan culinary, ia masih menemukan cara untuk tetap mempelajari teknik-teknik fotografi. Tidak dibatasi oleh latar belakang edukasinya di ranah kuliner, Candradi pun tetap meneruskan eksplorasi artistiknya sebagai seorang fotografer. Setelah mengejar passion tersebut dan menemukan gayanya sendiri, Candradi terbukti sukses sebagai seorang fotografer self-taught.

 whiteboardjournal, logo

The post Who, What, Why: Jessica Candradi appeared first on Whiteboard Journal.

Sebelum Aku Benar-Benar Mati

$
0
0

Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin kata-kata kembali setajam belati. Luapkan dari mulutmu sebagai ironi. Lalu jemput ujungnya di lain hari.

Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin penyair itu berteriak lagi. Tentang hujan, tentang sepotong senja di kartu pos, tentang pemuda yang tiba-tiba mati, atau tentang kunang-kunang yang berbicara padamu saat ini.

Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin penyanyi itu bersuara lagi. Tentang tanah yang akan dibeli, tentang air yang selalu mati, tentang manusia yang semakin tak peduli, atau tentang gedung-gedung yang tak berhenti meninggi.

Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin pria tua itu berteriak seperti dulu lagi. Lantang menerobos dinding tebal seberang sana, yang diakhiri dengan adu lincah dengan senapan mereka. Lalu esok paginya bercengkrama seperti biasa.

Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin lukisan itu semerah darah. Guratan-guratan pada tiap sisinya, mengisyaratkan duka di sudut galeri tua. Yang bahkan tak seeorang pun berkenan menjamahnya.

Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin pak tua itu hidup lagi. Bercerita tentang apa-apa yang tak akan terjadi lagi. Tentang sejarah api, hingga asmaranya yang sudah tak berarti.

Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin mereka tak berduka lagi. Hidup seperti seharusnya, tak perlu lagi menanti kabar kembali. Sebab kata-kata menuntun mereka ke jalan yang seharusnya. Pulang.

Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin kau untuk mengerti. Bahwa tanah yang kau injak saat ini, bahwa air yang kau minum saat ini, bahwa udara yag kau hirup saat ini, adalah darah dan air mata mereka yang tak pernah kau hargai.

Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin kau membaca ini.

Batu, 9 Februari 2019whiteboardjournal, logo

The post Sebelum Aku Benar-Benar Mati appeared first on Whiteboard Journal.

Light in the Attic Garap Perilisan Album Kompilasi Japanese City Pop Pertama di Luar Jepang

$
0
0

Foto: Pitchfork

Light in the Attic, label rekaman independen yang terkenal sebagai spesialis reissue baru saja mengumumkan proyek terbarunya. Berisi kompilasi lagu-lagu city pop Jepang, album yang bertajuk “Pacific Breeze: Japanese City Pop, AOR & Boogie 1976-1986” ini bertujuan untuk memperkenalkan musik Jepang dalam era kejayaannya ke ranah musik internasional.

“Pacific Breeze” merupakan anggota terbaru dalam seri arsip Jepang yang sedang digarap oleh Light in the Attic. Sebagai kompilasi teranyarnya, album ini masih menyuguhkan arahan musikal lebih lembut dibanding kompilasi “Kankyo Ongaku” yang diisi dengan suara new age. Rencana rilis tanggal 3 Mei mendatang, Light in the Attic mengungkapkan isi dari album ini yang diisi 16 trek, berkisar dari alur lagu yang smooth sampai trek pop techno inovatif. Tidak hanya itu, album ini didampingi dengan cover art buatan Hirashi Nagai, yang menciptakan mayoritas karya city pop asli dari tahun 80-an.

Walau banyak orang Asia yang sering menikmati karya Harumi Hosono, Hitomi Tohyama dan Minako Yoshida, nama-nama tersebut masih terdengar asing bagi kebanyakan orang Eropa dan juga Amerika. Wajar saja, karena  lagu-lagu dalam album ini belum pernah dirilis di luar Jepang sebelumnya. Mengetahui fakta tersebut, kiranya para pendengar “Pacific Breeze” benar-benar dapat mengeksplorasi suara baru yang ditawarkan melalui karya para legenda musik Jepang.whiteboardjournal, logo

The post Light in the Attic Garap Perilisan Album Kompilasi Japanese City Pop Pertama di Luar Jepang appeared first on Whiteboard Journal.

Dinaungi oleh Anoa Records, Inilah Single Dive Collate Terbaru Bertajuk “Choice”

$
0
0

Teks: Vestianty

Foto: DiveCollate Music

Di antara maraknya perkembangan musik lokal yang tengah berkembang di Bali, mulai dari rockabilly, stoner atau emo, ada salah satu genre berbeda yang diangkat oleh Dive Collate. Dengan mengusung aliran shoegaze/dream pop, pada bulan Februari lalu unit alternatif ini merilis single perdana mereka bertajuk “Choice” yang berisikan dua trek, “Choice” (2019) serta “Grey and Nice” (2018). Dengan dinaungi oleh Anoa Records, materi ini merupakan awal permulaan unit mereka sebelum pada akhirnya tiba memberikan rilisan fisik perdana dalam tahun ini.

Terbentuk pada awal tahun 2018, Dive Collate adalah Pingkan Tumbelaka (main vocal, guitar rhythm), Putu Dedy Pradiska (lead guitar), Ida Bagus Aris Widiarsa (back vocal, bass), dan Andreas Dimas (drum).  Musikalitas mereka banyak dipengaruhi oleh referensi band seperti The Depreciation Guild, My Bloody Valentine, Slowdive, Whirr, Deafcult, dan juga Lush. Karakter musik dari band tersebut membentuk kontur musik dari single mereka kali ini. Reverb yang membungkus musik mereka, ketukan drum dan bass line yang menjaga tempo, dilengkapi dengan lirik yang reflektif.  Vokal Pingkan melekat dengan apik di antara berbagai instrumen yang mengisi lagu.

Rilisan single “Choice” dan “Grey and Nice” – yang kini sudah bisa didengar di berbagai platform musik digital – menjadi petualangan terbaru Dive Collate bersama Anoa Records. Hal ajaib dan seru dari Bali, dan Dive Collate punya suguhan musik tak membosankan yang patut dinanti penyuguhan karya-karya selanjutnya.whiteboardjournal, logo

The post Dinaungi oleh Anoa Records, Inilah Single Dive Collate Terbaru Bertajuk “Choice” appeared first on Whiteboard Journal.

Gimme 5: Album Musik 80-an Pilihan Kurosuke

$
0
0

Untuk seorang musisi, memiliki satu band saja terkadang tidak cukup memenuhi hasrat mereka untuk berkarya. Christianto Ario Wibowo pun dapat mengatakan hal yang sama. Selain menjadi frontman untuk band pop Anomalyst, ia juga mengeksplorasi sisi lain dirinya melalui Kurosuke, proyek solo dengan debut album self-titled yang dirilis tahun 2018 lalu. Pengaruh dari musik tahun 80-an dapat terasa jelas dalam musikalisasi Kurosuke, karena menurutnya, estetika dan suara yang ada pada era tersebut dapat merefleksikan visi dan mood yang ia inginkan. Oleh karena itu, kami menanyakan album tahun 80-an pilihannya.

Michael Jackson – Thriller

Michael Jackson – Thriller bagi saya merupakan album terbaik di dekade 80-an, dan juga masih masuk dalam daftar album favorit saya sepanjang masa. Album ini bagi saya merupakan album paripurna Michael Jackson. Secara musikal, album ini merupakan album tanpa cela. Komposisi, penulisan lagu dan lirik, serta kualitas harmoni dan rhythm nya bisa dibilang sempurna. Secara produksi, mungkin album ini merupakan cetak biru dari produksi karya rekam, bahkan sampai hari ini. Teknik produksi dan eksplorasi suara dan estetik tercampur secara ideal, tidak berlebih. Selain itu, pengaruh album ini terhadap peta musik dunia pun sangat besar, album ini merupakan awal kecintaan saya terhadap musik dekade 80-an. Saya mempunyai mimpi untuk memiliki album seperti ini, berkualitas dan bisa dinikmati.

Tears For Fears – The Seeds of Love

Album ini merupakan album terakhir Roland Orzabal dan Curt Smith sebagai sebuah duo hingga waktu yang sangat panjang. Walaupun mungkin album ini bukan menjadi album favorit Tears For Fears bagi banyak orang, bagi saya pribadi album ini juga merupakan album paripurna di penghujung dekade 80-an. Lepas dari musik komputer dan kembali ke pendekatan organik, bagi saya album ini menjadi sebuah karya yang sangat kohesif sebagai kesatuan, sebuah definisi album pop yang baik bagi saya. Album ini menjadi salah satu guru besar saya dalam berkarya, kompleksitas, humor, politik dalam balutan musik yang indah.

Diana Ross – Diana

Salah satu penyanyi wanita favorit saya setelah Karen Carpenter, album ini diproduseri oleh Nile Rodgers, salah satu produser favorit saya setelah George Martin. Album post-disco ini bagi saya salah satu karya terbaik Nile Rodgers dan Diana Ross. Jejak Nile Rodgers sangat tersebar diseluruh album ini, begitupun performa vokal Diana Ross yang bagi saya belum ada yang bisa menyamakan. Album ini cukup menjadi referensi besar dan pengaruh besar bagi banyak musisi 80’s revival.

The Police – Synchronicity

Album terakhir The Police yang memiliki tempat spesial di hati saya. Penulisan lagu yang brilian dan lirik yang cerdas serta kualitas produksi yang sulit untuk disamakan. Setelah mendengarkan album ini bertahun tahun, saya rasa dapat terlihat pengaruh pengaruh album ini dalam karya karya saya. Harmoni, estetika suara, bahkan mungkin lirik pun bisa terdengar. Air mata pun berjatuhan saat saya berkesempatan menonton tur reuni mereka hampir 10 tahun yang lalu. Salah satu album terpenting dalam hidup saya.

Yellow Magic Orchestra – Naughty Boys

Butuh waktu yang cukup lama untuk memahami dan mengapresiasi album ini. Saya penggemar berat 3 album pertama Haruomi Hosono. Tapi melalui album ini saya pun berkesempatan untuk mengapresiasi perkembangan personal tiap musisi. Album ini merupakan pintu pembuka saya terhadap Ryuichi sakamoto. Secara estetika, album ini menjadi cetak biru dari New Wave dan Synth Pop yang tersebar hingga hari ini. Salah satu inspirasi terbesar Kurosuke.whiteboardjournal, logo

The post Gimme 5: Album Musik 80-an Pilihan Kurosuke appeared first on Whiteboard Journal.


Introducing Putri J. Ghariza and Her World Through This Mixtape

$
0
0

As a creative director of local brand Aesthetic Pleasure, Putri J. Ghariza is able to describe the raw feelings of human being through all of her collections. Using minimal color palettes and industrial cuttings, it’s safe to say that she aims to make people look cool and complex at the same time.

So, we think to get to know her better – music would be the best way to find out! Hence, she came up with several atmospheric songs which she described as ‘the natural way to feel’ mixtape. Enjoy!

1. Prurient – Entering the Water
2. Echo & the Bunnymen – The Killing Moon (Transformed)
3. Health x Youth Code – Innocence
4. Martin L. Gore – In A Manner of Speaking
5. My Bloody Valentine – Only Shallow (Remastered Version)
6. High Tension – Ghost to Ghost
7. Death in June – Going Dark
8. St Christopher – You Deserve More Than a Maybe
9. Godflesh – Post Self
10. Boris – Farewell whiteboardjournal, logo

The post Introducing Putri J. Ghariza and Her World Through This Mixtape appeared first on Whiteboard Journal.

9 Kisah “Pikiran dan Perjalanan” pada Album Kedua Barasuara

$
0
0

Teks: Vestianty

Foto: Barasuara

Bukan hal mudah untuk memproses sebuah karya menjadi layak disuguhkan serta merupakan satu kesatuan utuh dan menyeluruh. Begitu juga halnya dalam pembuatan sebuah album musik. Banyak proses yang harus dilewati, meleburkan ide-ide menarik dari beragam kepala untuk dijadikan satu. Ini pula yang terjadi pada Barasuara dalam merampungkan buah pikiran mereka. Barasuara pada awal tahun ini akhirnya melangkah untuk menghadirkan album kedua mereka setelah sekitar empat tahun berselang dari kesuksesan album perdana mereka. Dirilis di bawah Darlin Records, album berjudul “Pikiran dan Perjalanan”  ini mulai diformulasikan sejak  2015 lalu dan menggambarkan berbagai hal yang pernah terjadi di hidup para personel Barasuara hingga kini.

Berisikan 9 kisah, beragam tema pun diangkat dalam album mereka kini. “Seribu Racun” yang menjadi lagu pembuka, hadir sebagai perenungan menuturkan bagaimana ketika keraguan menguasai pemikiran yang datang terus menyiksa. Iga Massardi,  frontman dari unit ini yang bertugas sebagai gitaris dan juga vokalis, menyatakan bahwa lagu ini tentang depresi, kala seseorang tidak memiliki jalan keluar karena ia sangat tersiksa dengan pikirannya sendiri. Ditemani dengan iringan musik bergemuruh yang diisi oleh pukulan drum yang  santai hingga menanjak klimaks. Permainan synth gitar pun turut menyambar yang disela-selanya melengkingkan nada. Nama dari album mereka kali ini turut juga menjadi salah satu judul single yang bercerita mengenai suatu pilihan yang tak pernah mudah untuk diputuskan. “Pikiran dan Perjalanan” agak mengendurkan temponya sedikit lebih santai dari lagu sebelumnya, namun tetap dibalut dengan gelegar permainan drum dan gitar elektrik.

Lagu “Guna Manusia” yang sebelum perilisan album ini telah diluncurkan video klipnya hadir sebagai lagu ketiga yang mengangkat tema kesadaran dan kepedulian akan keadaan iklim bumi kita. Lagu lain yang menarik adalah “Tentukan Arah” yang mengalun tenang hingga pada sampai lirik bridge terakhir “Kita teracuni, racuni”, melonjak rasa amarah yang ingin disampaikan lewat lagu ini. Mencoba untuk menjadi unit yang vokal terhadap isu sosial, pada lagu  “Haluan” mereka melantunkan pesan soal maraknya berita bohong, sesuatu yang diberikan berbeda dari apa yang terjadi di lapangan lalu menjadi kultur dan gelombang kebencian.

Namun untuk melengkapi gambaran kehidupan manusia, dua lagu terakhir, “Samara” mengalun sebagai nada pengharapan, antara tenggelam dalam temaram atau bangkit berjalan melawan. Dilanjutkan dengan “Tirai Cahaya”, menjadi penutup syahdu, rangkuman atas semua perjalanan yang ada yang berawal dari seorang ibu. “Tertunduk, bersimpuh. Menyambut hidup. Kau mulai perjalananmu”.

Masih kuat dengan lirik puitis dan berani membuka diri dengan berbagi pengalaman pribadi, patut diakui bahwa isu yang Barasuara angkat di album barunya berhasil mengajak pendengarnya untuk merenungi hidup. whiteboardjournal, logo

The post 9 Kisah “Pikiran dan Perjalanan” pada Album Kedua Barasuara appeared first on Whiteboard Journal.

Dibuat oleh Moshe Safdie, Indoor Waterfall Tertinggi di Dunia Hadir di Singapura

$
0
0

Teks: Vestianty

Menjadi tempat paling diandalkan dalam perpindahan tercepat dari satu tempat ke tempat lainnya, membuat bandara menjadi salah satu lokasi tersibuk setiap harinya. Adanya orang-orang yang harus mempersiapkan waktu beberapa jam sebelumnya hingga akhirnya tiba jadwal penerbangan masing-masing membuat timbulnya alasan mengapa kini banyak bandara yang tak hanya menyediakan jasa transportasi udara, namun juga dilengkapi dengan sarana rekreasi, seperti taman dan arena relaksasi lainnya. Sebagai nilai tambah daya tarik bandaranya, Singapura akan segera membuka Jewel Changi Airport yang menghadirkan Rain Fortex dari Moshe Safdie yang akan menjadi air terjun indoor tertinggi di dunia.

Dirancang oleh Safdie Architects, air terjun setinggi 40 meter ini akan melewati tujuh lantai dari sebuah oculus di atap berkubah kaca. Insinyur Buro Happold merancang atap kaca dan baja berbentuk bagel membentang lebih dari 200 meter pada titik terlebarnya, sementara Peter Walker and Partners Landscape Architects menciptakan hutan dalam ruangan yang dapat mengendalikan iklim.

Safdie Architects yang didirikan oleh arsitek Israel-Kanada Moshe Safdie pada tahun 1964, mulai mengerjakan Bandara Jewel Changi pada tahun 2014. Singapura sering mengalami badai, sehingga Rain Vortex dirancang untuk menyalurkan air hujan dengan kecepatan 10.000 galon per menit. Aliran air ini secara alami akan mendinginkan udara di bawah kubah dengan air yang ditangkap akan digunakan kembali di dalam bangunan.

Teras penuh dengan 200 spesies tanaman mengelilingi air terjun di daerah Forest Canopy hadir dengan jalur bagi pengunjung untuk berjalan bersama. Lima lantai gedung Bandara Jewel Changi juga akan dipenuhi dengan toko-toko dan restoran, dengan taman dalam ruangan di lantai lima. Pada malam hari, Rain Vortex akan memiliki pertunjukan cahaya dan suara 360 derajat yang diproyeksikan ke atasnya dengan sistem yang dirancang oleh WET Engineering. Bangunan baru ini tentunya terhubung ke sistem transportasi umum Singapura dan terhubung ke terminal satu, dua, dan tiga melalui jembatan pejalan kaki. Selain sebagai portal ke bandara, bangunan seluas 134.000 meter persegi terbuat dari kaca ini dimaksudkan untuk menjadi tujuan ritel dan hiburan.

Meskipun teknologi untuk membuat atap bisa dibuka yang kompatibel dengan pendingin ruangan masih belum tersedia, Jewel senantiasa memiliki banyak daya tarik bagi pengunjung yang sayang jika dilewatkan jika singgah pada bandara internasional yang menghadirkan beragam instalasi hiburan.

Jewel Changi Airport akan segera dibuka pada 17 April mendatang.whiteboardjournal, logo

The post Dibuat oleh Moshe Safdie, Indoor Waterfall Tertinggi di Dunia Hadir di Singapura appeared first on Whiteboard Journal.

Places to Go: Kura Kura Eatery

$
0
0

Foto: Moses Sihombing

WHERE

Bagi sejumlah pecinta kuliner, makanan tidak hanya dipandang sebagai asupan energi, tetapi sebagai medium untuk menghubungkan masyarakat sembari menjalin tali persahabatan. Juga percaya akan kegunaan makanan sebagai alat kesehatan, mereka memilih nama Kura Kura sebagai doa bagi pengunjungnya – agar mereka memiliki hidup panjang selayaknya kura kura. Itulah filosofi yang dipeluk erat oleh Kura Kura Eatery. Terletak di depan sekolah Lycee Francais de Jakarta, Kura Kura Eatery paling cocok dideskripsikan sebagai neighborhood cafe yang menawarkan kehangatan serasa rumah sendiri – namun dibalut dengan keindahan.

WHY

Jika dinilai melalui ukurannya, Kura Kura memang termasuk kecil dibanding cafe Jakarta lainnya. Walau hanya dapat menampung 10 orang didalamnya, hal tersebut malah menciptakan atmosfer hangat dan tentunya lebih intim. Jika biasanya kita berkunjung ke suatu restoran dan hanya berbincang dengan teman atau memilih untuk menyendiri, atmosfer tersebut dapat mendorong kita untuk memulai perbincangan dengan orang sekitar. Mulai dari perbincangan tentang makanan, pekerjaan sampai hobi, kiranya hal tersebut dapat membantu kita untuk membangun koneksi dengan para pengunjung lain di sana.

Selain atmosfer homey, makanan yang ditawarkan di Kura Kura juga memiliki integritas tersendiri. Untuk menghindari limbah makanan berlebihan, Kura Kura menggunakan sistem prep to order untuk memastikan kesegaran bahan yang akan dimasak. Memang, persiapan tersebut memakan waktu sedikit lebih lama, namun dampaknya terhadap kualitas hidangan sekaligus lingkungan, jelas setimpal.

WHAT

Menawarkan masakan Italia dengan treatment Perancis, Kura Kura mempunyai rangkaian menu unik. Lucunya, awalnya para pendiri restoran ini ingin membuat kedai mie ayam. Keinginan tersebut pun masih tetap terwujud melalui salah satu menu andalannya, Organic Chicken Noodle. Di sisi lain, mereka terlena dengan menyajikan menu yang tak hanya cantik tapi juga lezat. Salah satunya adalah Caprese Sourdough, yakni toast keju mozarella, penuh dengan tomat ceri dan dilengkapi dengan note rasa basil dan truffle balsamic reduction. Bagi yang ingin mencoba menu pasta klasik, bisa menyantap Tagliatelle Con Funghi atau Caccio E Pepe dan tidak lupa untuk mencuci mulut Kura Kura memiliki menu unggulannya yakni, panna cotta Petit Jardin.

Kura Kura Eatery

Jl. Cipete Dalam No.37a
Jakarta Selatan

 whiteboardjournal, logo

The post Places to Go: Kura Kura Eatery appeared first on Whiteboard Journal.

Selebrasi Musisi Lokal Pada Hari Musik Nasional di The 9th Music Gallery

$
0
0

Teks: Vestianty
Foto: Visual Design and Documentation Team The 9th Music Gallery

Musik merupakan sebuah ekspresi yang sifatnya universal dan multidimensional. Dengan berbagai genre yang ada, musik dibahasakan untuk membingkai suatu peristiwa dalam melodi-melodi indah dan menyenangkan hati. Perjalanan para musisi untuk memproses itu semua, masyarakat yang menikmati, dan proses lain-lainnya pada sebuah karya adalah bagian penting dari perkembangan musik itu sendiri yang pada akhirnya patut dirayakan. Setiap tahunnya sejak tahun 2013, tanggal 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional dan bersamaan dengan tanggal itu pada tahun ini, The 9th Music Gallery telah kembali digelar. Dengan mengusung tema “An Undiscovered Resonance”, musisi independen lokal sebagai permata tersembunyi dengan bakat yang patut diapresiasi oleh banyak orang telah berhasil memberikan pengalaman tak terlupakan.

Berlokasi di Tennis Indoor Senayan, gelaran yang dibuat oleh BSO Band, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini telah menghadirkan beragam musisi lokal dan satu penampilan dari musisi internasional. Musisi-musisi tersebut di antaranya adalah Dara Muda, Dream Coterie, Elephant Kind, Kelompok Penerang Roket, Kurosuke, Oscar Lolang, Pamungkas, Rumahsakit, The Upstairs, The Changcuters, dan the Trees and the Wild. Untuk musisi internasionalnya sendiri yang dihadirkan adalah FUR, band asal Inggris beraliran dreamy pop yang musik-musiknya melantun dengan sentuhan melodi era 50-an dan alt-indie.

Tersedia dua panggung bagi para musisi untuk unjuk gigi menampilkan pertunjukan musik-musik mereka secara live, yaitu di Ashbury Stage (outdoor) dan Haight Stage (indoor). Di tengah-tengah transisi perpindahan antara dua panggung tersebut, dipamerkan pula beberapa artwork serta karya seni mural yang dilukis pada hari itu juga sebagai bagian dari perayaan festival musik ini yang tergabung dalam “visual art gallery”. Pengunjung pun dapat berelaksasi sejenak dengan melihat karya-karya visual tersebut sambil berpindah panggung untuk menonton pertunjukan selanjutnya.

Menariknya lagi, ada sesuatu hal mengejutkan yang telah dipersiapkan oleh tim penyelenggara. Hal ini terjadi bertepatan saat pengunjung baru saja selesai melihat penampilan dari Kurosuke. Ada sosok berkostum keseluruhannya putih yang memakai topeng dan hiasan kepala yang menari-nari di tengah keramaian. Ini merupakan pertunjukan visual dari kelompok bernama Orcyworld yang memadukan tarian kontemporer dengan instalasi digital. Suatu ruangan dipenuhi oleh kain-kain putih yang digambari oleh beraneka ragam simbol unik, lampu temaram, proyeksi visual abstrak disorot pada kain berjaring, dengungan suara latar musik dengan kalimat-kalimat semacam mantra yang diucapkan, hingga bau dupa menyengat menemani penampilan kelompok tersebut.  

Secara keseluruhan, festival ini telah berhasil menjadi wadah bagi para musisi lokal untuk bisa mengekspresikan karya-karya mereka dengan bebas dengan segala ciri khas dan kreativitas mereka masing-masing. Dibalut dengan acara seni lainnya, seperti pameran artwork dan mural, serta pertunjukan tarian, bukan tidak mungkin jika gelaran ini akan merambah seni pertunjukan lainnya dengan tetap mengedepankan musik sebagai penafsiran utamanya. Tidak hanya mengedepankan musik sebagai panggung utamanya, namun kesenian lain dapat turut melengkapi sebagai bagian dalam perayaan musik di festival The 9th Music Gallery.whiteboardjournal, logo

The post Selebrasi Musisi Lokal Pada Hari Musik Nasional di The 9th Music Gallery appeared first on Whiteboard Journal.

Viewing all 9814 articles
Browse latest View live