Penyanyi yang satu ini sebetulnya tidak perlu diperkenalkan lagi karena hampir semua orang pastinya tahu setidaknya satu lagu miliknya. Tembang-tembang sendunya seringkali menjadi pilihan utama untuk karaoke sing-along, mulai dari “Tegar”, “Aku Bukan Untukmu”, hingga “Terlalu Cinta”. Rossa merupakan salah satu penyanyi Tanah Air yang kiprahnya di industri musik Indonesia telah mencapai lebih dari dua dekade, dengan sederet karya yang tidak hanya memperoleh banyak penghargaan tapi juga lekat dengan budaya pop Indonesia. Untuk menyambut special appearance oleh Rossa dalam rangkaian acara Videostarr: Cherrybomb yang kelima, kami menanyakan trek K-Pop pilihannya.
Breathe – LEE HI
Lagu pop ballad ini memiliki lirik tentang pentingya menghargai diri sendiri dan juga untuk menenangkan hati.
Crazy of You – Hyolyn
Ini adalah lagu soundtrack drama korea “Master’s Sun” yang dinyanyikan oleh Hyolyn, member dari grup K-Pop, Sistar, yang sekarang sudah bubar.
No Make Up – Zion.T
Suka aja, lagu sama musiknya memiliki nuansa yang chill.
Solo – Jennie
World class. Lagu ini adalah single solopertama dari Jennie BLACKPINK.
Lo Siento – Super Junior
Ketika Super Junior menaklukan Latinos #asianpride. Di trek yang dinyanyikan dalam tiga bahasa ini, Super Junior berkolaborasi dengan penyanyi Leslie Grace dan produser Play-N-Skillz.
Sebagai duo musikal, Kimokal pertama dikenal melalui kesuksesan album perdananya “O” di tahun 2016. Membawa campuran genre elektronik, psychedelic, dan pop, unit ini berhasil menarik perhatian dunia musik Indonesia melalui sederet alunan lagu misterius, dark nan trendy. Kini, setelah hampir dua tahun memasak di studio, Kimokal hadir dengan album keduanya, “Aries”.
Walau Kimo dan Kallula mengakui bahwa mereka berdua mempunyai zodiak Aries, hal tersebut bukanlah alasan atas penamaan album ini. Melalui “Aries” mereka tidak hanya ingin memperlihatkan pendekatan kreatif baru, tetapi juga menandakan keinginan untuk lebih membuka diri kepada para penggemarnya.
Kimokal pertama kali memperkenalkan nuansa baru ini melalui dua single pertamanya, yakni “One” ft. Neonomora dan “Wanderlust”. Saat perilisannya, para pendengar setianya pun langsung menyadari perubahan suasana yang cukup besar dari materi-materi sebelumnya. Namun berkat keputusan mereka untuk tetap setia terhadap identitas musikal mereka, arahan baru ini diterima secara baik oleh para penggemarnya.
Secara musikal, Kimo dan Kallula sebenarnya masih mempunyai gaya produksi yang serupa dengan album dan lagu-lagu sebelumnya – identik dengan beats Kimo yang catchy dan suara Kalulla yang halus. Namun, Kimo dan Kallula secara jelas memperlihatkan sisi musikal mereka yang lebih ceria, menjauh dari suasana gelap yang mereka suguhkan di album sebelumnya.
Melalui sederet lagu dengan alunan lebih upbeat, juga didampingi dengan lirik lebih optimis, unit ini berhasil menyuguhkan arahan kreatif yang segar sambil tetap setia dengan identitas musikalnya.
Menjajal banyak hal sejak SMP, mulai photoshop hingga fotografi, Jason Iskandar akhirnya menemukan tempat yang selama ini ia cari untuk menyalurkan ide-idenya dalam medium film dan video. Karya-karyanya bersama dengan Studio Antelope yang ia dirikan, kini sudah banyak berkolaborasi dengan berbagai brand nasional untuk membuat iklan komersial yang dibawakan dengan storytelling kuat. Di samping itu, ia bersama timnya juga tak ketinggalan membuat film yang berangkat dari problema masyarakat dengan tetap menyampaikan pesan universal. Kami berbincang dengan Jason Iskandar untuk membicarakan mengenai awal keterlibatannya dalam dunia perfilman Indonesia, budaya streaming video, relevansi sebuah cerita dibuat ke dalam film pada masa kini, proses narasi, hingga pengalamannya bergabung dalam gelaran Film Musik Makan.
Pada umur 17 tahun, Anda meraih penghargaan atas film yang Anda buat pada documentary workshop & kompetisi “Think Act Change” yang diselenggarakan oleh Jakarta Arts Council and The Body Shop Indonesia. Sebenarnya sejak kapan awal Anda mengenal video dan teknis pembuatannya, dan bagaimana kalau Anda kini melihat kembali pada karya yang telah Anda buat tersebut?
Pertama kali kenalan dengan film sebenarnya jauh lebih panjang dari itu ya. Pertama kali, mungkin sekitar saat balita. Kebetulan orang tua saya itu orang yang suka menonton film, jadi saya dikenalkan dengan film sudah lumayan sejak dini. Saya diajak untuk ke bioskop pun juga sejak usia dini banget. Salah satu film awal-awal yang paling bermakna buat saya itu “Jurassic Park” karena waktu itu ayah saya kan sering sewa VHS dan salah satu yang disewa dan sering banget saya putar berkali-kali sampai rusak itu “Jurassic Park.”
Dulu di RCTI kalau ingat ada acara namanya “Cinema Cinema,” seperti acara – mungkin kalau sekarang tuh seperti acara yang memutar behind the scene film. Nah di situ saya melihat ada video behind the scene pembuatan “Jurassic Park” dan itu pertama kali saya tahu kata sutradara.
Saya belum paham sutradara itu pekerjaannya seperti apa, tidak tahu persis, tapi mungkin saya ingat pertama kali bilang ingin jadi sutradara itu awal SMP atau akhir SD. Dan sebenarnya waktu itu saya tidak sadar, cuma belakangan ini baru ingat-ingat lagi kalau ternyata memang ada dorongan buat menyutradarai sejak kecil. Seperti misalnya saat acara Natal atau kumpul keluarga, saya biasanya dengan sepupu-sepupu yang lain sering membuat drama kecil-kecilan sendiri yang diadaptasi dari komik-komik, misalnya Doraemon. Beberapa adegan kita mainkan bersama-sama. Nah, di bawah alam sadar, saya berperan sebagai sutradaranya. Jadi saya yang mengatur, seperti “lo gini, lo gini”, walaupun saya tidak tahu itu menyutradarai.
Begitu juga kalau ada tugas-tugas drama di sekolah, saya juga secara tidak sadar mengambil peran menyutradarai. Nah, mungkin saya baru sadar, memahami apa itu sutradara ketika masuk SMA. Ketika ikut kompetisi dan workshop itu juga diajarin lebih dalam lagi. Ternyata memang membuka mata sekali. Yang tadinya saya tidak terlalu paham sutradara atau menyutradarai itu seperti apa, di workshop jadi lebih paham. Membuat film ternyata tidak semudah yang saya kira selama ini. Saya bersama teman-teman SMA membuat film pendek dengan handycam saat kelas 1, tapi tidak tahu cara editnya. Karena masih pakai kaset jadi tidak tahu cara mendigitalisasinya bagaimana. Jadi ya syuting-syuting saja, tapi tidak tahu cara mengeditnya. Ya sudah, gagal. Sampai akhirnya saya baru mengerti semuanya itu sejak workshop itu.
Sebenarnya ada beberapa kali saya datang ke pemutaran film “Sarung Petarung”, belakangan ini. Entah diputar dengan karya saya yang lain, atau bisa juga diputar sendiri bersama karya-karya sutradara lain. Jadi saya beberapa kali menonton film “Sarung Petarung” lagi. Yang saya rasakan sih sebenarnya, “Gila gue zaman dulu ini banget ya, seperti remaja horny banget gitu.” Soalnya film itu tentang kondom kan – pengetahuan remaja tentang kondom. Dan tema-tema itu sebenarnya ya tema-tema yang menggelisahkan saya sekali kan ketika SMA. Jadi kadang malu sendiri sih melihat karya itu lagi, tapi kadang di sisi lain juga merasa itu catatan penting sih – seperti catatan harian yang penting di usia saya saat itu.
Bagaimana pentingnya video bagi Anda?
Karena menurut saya medium itu yang paling lengkap. Saya mengawali dari desain grafis. Lalu kemudian melompat ke fotografi, baru lompat ke film. Ketika saya pertama kali desain grafis, saya pertama kali belajar photoshop itu sepertinya SMP. Saya jatuh cinta banget sama desain grafis. Kalau ke Gramedia yang paling saya cari ya buku tutorial photoshop. Sekadar goblok-goblokan seperti text effects segala macam, cuma itu yang saya suka banget awalnya. Tapi saya lama-lama merasa seperti, “Gila ini sempit banget ya”. Space-nya itu tidak besar, apalagi skill gambar saya terbatas banget. Jadi ketika mau macam-macam, saya sudah tidak bisa, mau bikin ilustrasi itu saya tidak bisa. Ya paling mentok-mentok di layout. Terus kelas 1 SMA saya berkenalan sama fotografi. Prosesnya sama seperti pas pertama kali kenalan sama desain, saya suka banget. Waktu itu masih motret pakai seluloid, belajarnya juga masih pakai seluloid. Dan tiap minggu itu, saya ada ekskul di SMA saya. Dan semua orang-orangnya itu entah kenapa kompetitif banget. Jadi setiap minggu mereka akan hunting ke sana ke mari demi asistensi, seperti kasih lihat foto dikomentari. Dan saya salah satu yang kompetitif juga. Jadi tiap minggu motret, belajar teknis-teknisnya. Sampai akhirnya saya merasakan hal yang sama (seperti photoshop) karena fotografi juga satu frame kan. Photo stories bisa beberapa frame, tapi saya merasakan keterbatasan yang sama ketika saya ada di desain karena ya itu, terbatas.
Terus ikut workshop di “Think Act Change” itu saya ingat banget di workshop ini, materi pertama yang disampaikan adalah itu tadi; kalau foto kamu cuma ada satu frame, tapi sekarang kita ngomongin film atau video yang satu detik itu terdapat 24 sampai 30 frame bahkan kalau video. Dan itu langsung membuka mata saya, bahwa “Anjir ini, kalau seperti itu berarti space-nya luas banget ya.” Terus kemudian saya ikuti workshop itu, bikin film pertama saya juga di workshop itu. Pas jadi filmnya juga wah saya merasa puas banget sama hasilnya. Di sisi lain juga saya merasa ini, saya mendapatkan space yang selama ini saya cari. Saya mendapatkan ruang buat saya pakai yang selama ini saya cari, saya ingin seperti ini gitu. Seiring berjalannya waktu mulai belajar mengasah kepekaan, di saat yang bersamaan juga mengasah hal-hal teknis dalam film dan video. Ya akhirnya saya tetap merasa sampai sekarang bahwa ini medium yang paling tepat buat saya pribadi untuk menyampaikan sesuatu, karena lebar banget, maksudnya luas banget space-nya. Kamu bisa menaruh banyak hal di dalamnya.
Dengan latar belakang pendidikan sarjana di bidang sosiologi, hal apa yang membuat Anda memutuskan untuk beralih menekuni dunia perfilman hingga menjadi seorang sutradara dan produser?
Sebetulnya saya membuat film, bahkan sebelum saya memilih masuk sosiologi. Jadi saya sudah membuat film sejak SMA. Bahkan saya sempat tidak naik kelas sekali saat SMA karena terus ingin mencoba membuat film. Sampailah di kelas dua atau kelas tiga itu, muncul pilihan dimana saya harus memilih mau kuliah di mana. Pada saat itu muncul perdebatan mau sekolah film atau tidak. Awalnya saya ingin sekolah film. Orang tua pun mendukung untuk masuk sekolah film. Tapi kemudian saya mengobrol dengan beberapa teman – mentor-mentor sih sebenarnya yang saya kenal dari acara workshop itu. Timbul pertanyaan, “Penting tidak sih sekolah film?” Dan saat itu memang mulai ada perdebatan sekolah film itu penting atau tidak karena kan kita sedang transisi digital. Itu terasa sekali.
YouTube mulai ada – walau tidak segencar sekarang. Orang mulai membuat tutorial di YouTube, di blog masing-masing orang mulai mencoba buat tutorial. Jadi pengetahuan saat itu kencang sekali arusnya. Jadi, beberapa pertimbangan saya dengar dari teman-teman, ya akhirnya memberikan saran, “Kalau lo sekolah film untungnya gini, networking, lo bisa punya banyak teman-teman yang punya passion sama, ok. Tapi kalau lo tidak sekolah film, lo bisa punya banyak waktu untuk bikin film. Tapi kekurangannya lo tidak punya teman-teman buat ngejagain lo gitu yang punya passion yang sama.” Ya sudah lah dari pertimbangan itu saya akhirnya memilih untuk tidak sekolah film. Nah, cuma kalau tidak sekolah film, pertimbangannya mau sekolah apa. Muncul beberapa jurusan, salah satunya sastra, sosiologi dan antropologi. Pertimbangan sebenarnya sesederhana karena film bukan cuma soal teknis, tapi soal apa yang mau diceritakan. Bukan cara berceritanya saja, tapi apa yang mau diceritakan. Saya ingin banget Studi Antelope itu buat platform untuk membuat collaborative working culture yang baik. Beberapa ilmu sih sebenarnya menurut saya punya power buat membantu saya dalam hal itu; dalam menceritakan, salah satunya sosiologi. Sepanjang saya kuliah sampai lulus, saya merasa sosiologi banyak membantu saya di filmmaking sih karena menurut saya sosiologi itu adalah ilmu untuk mengungkap yang tersembunyi. Jadi kamu bisa melihat – kamu mungkin melihat di kehidupan kita ini biasa saja semuanya. Tapi sebenarnya di balik itu ada banyak sekali hal menarik. Sosiologi memberikan saya tools buat membongkar itu lah. Nah, sementara film adalah medium untuk merekam itu semua. Jadi menurut saya, sosiologi membantu sekali untuk filmmaking sebenarnya.
Bagaimana proses pendalaman narasi yang Anda lakukan untuk membuat satu cerita yang dibuat ke dalam penggambaran video?
Sebenarnya tidak banyak berbeda dengan pakem-pakem development lainnya sih. Kalau di Studio Antelope kita punya komitmen untuk setahun setidaknya membuat satu film pendek yang dibuat atas inisiatif sendiri. Tahun-tahun ini kita ada rencana untuk bikin film panjang yang bekerja sama dengan beberapa pihak lain, tapi kita juga tetap sampai kapanpun kita ingin commit untuk membuat satu film pendek yang atas inisiatif kita sendiri. Setiap kita membuat itu, kita pasti berkumpul untuk melontarkan beberapa ide-ide yang kita punya. Siapapun boleh memberikan ide. Dan dari ide-ide itu, kita pilih mana yang paling relevan untuk dibuat saat ini. Lalu misalnya satu ide terpilih, ide tersebut biasanya masih berupa premis – jadi premis itu cuma satu kalimat yang menggambarkan sisi filmnya, jadi tidak detail. Dan biasanya kita selalu menilai dari premis. Kita tidak terlalu suka untuk menilai – di tahap awal ini ya, development awal – cerita itu dari detail-detailnya.
Jadi ketika premis satu kalimat itu menarik dan bisa menggambarkan apa yang kita ingin sampaikan, biasanya itu yang akan kita judge pertama kali. Dari premis itu, yang tadinya cuma satu kalimat, barulah kita kembangkan menjadi sinopsis. Sinopsis biasanya antara satu paragraf sampai tiga paragraf, jadi sudah masuk ke hal-hal yang lebih detail, walaupun belum se-detail berikutnya. Dari sinopsis itu baru kita kembangkan lagi menjadi treatment. Treatment itu seperti naskah, tapi belum punya dialog – jadi seperti semuanya masih berupa penjelasan-penjelasan, semua diceritakan dalam berupa kalimat saja. Baru terakhir dikembangkan menjadi skrip.
Proses idealnya seperti itu, proses yang kita jalani seperti itu sampai akhirnya jadi skrip. Tapi dari itu semua yang paling penting dan harus kita jelas dulu adalah statement-nya. Jadi apa yang ingin kita bahas, statement kita apa, argumen kita apa, dan itu yang akan kita jaga sepanjang proses itu. Mungkin saja argumennya berubah di tengah jalan, tapi proses perubahan itu kan pasti ada perdebatannya dulu, ada diskusinya dulu. Menurut kita itu tetap bagian dari hal yang produktif sih. Setiap kita memberikan workshop, kita tidak pernah bilang bahwa ini adalah metode yang paling tepat, atau “Lo harus kayak gini.” Karena kebanyakan dari kita bukan dari sekolah film, jadi kita belajar dengan caranya masing-masing. Dan kita memberi tahu bahwa yang biasanya kita seperti ini, tapi kamu boleh belajar dengan cara-cara lain sebenarnya. Tapi yang paling penting di antara itu semua sebenarnya bukan tahapan-tahapan ini, tapi ya tadi film statement. Statement kamu apa, argumen kamu apa, dan kenapa ini penting untuk diceritakan.
Hal apa yang ingin Anda capai lewat Studio Antelope?
Awal Studio Antelope sebenarnya mimpinya tidak besar, setidaknya di awalannya. Maksudnya ketika itu saya lagi kuliah, terus saya sama Flo – yang sekarang jadi istri saya itu. Dulu dia kuliah di Karawaci di UPH, saya di UGM di Jogja dan LDR begitu. Awalnya kita ingin membuat satu bisnis kecil-kecilan yang bisa buat saya bolak-balik Jakarta-Jogja. Sambil mengerjakan, sambil bisa dapat uang. Sudah gitu berpikirnya kalau lancar, mungkin setelah lulus saya bisa tinggal melanjutkan itu. Awalnya waktu itu malah bukan productioncompany atau film company bahkan, awalnya mengerjakan macam-macam, dari desain grafis, fotografi – video salah satunya. Itu kenapa kita menyebutnya waktu itu studio, terinspirasi salah satunya dari Studio 1212. Menarik juga, karena kita mengerjakannya macam-macam.
Nah, terus berkembang, akhirnya sampai sekarang – mungkin transisi yang penting buat Studio Antelope itu tahun 2014 ketika kita awalnya mengerjakan cuma fotografi, desain grafis, segala macam, sampai 2014 kita menentukan, “Okay kita mau mengerjakan film dan video.” Kita sepakat buat fokus mengerjakan film dan TV. Sebenarnya film sudah kita kerjakan sebelumnya, tapi kita lebih banyak membuat film independen untuk diputar di festival film. Cuma setelah itu kita decide, fokus di film dan TV, dan kita juga mulai terima pekerjaan komersial, seperti branded content. Karena saat itu memang kita merasakan video ini jadi banyak yang cari, demand-nya jadi tinggi, jadi kita mengerjakan itu. Sejak itu kita fokusnya berpindah ke sana.
Cuma mimpi besarnya sebenarnya lebih besar dari production saja. Ketika saya masuk ke industri ini, industri film, TV, dan iklan ini, saya merasa lumayan gelisah melihat kultur kerja orang-orangnya. Jadi saya ingin banget Studi Antelope itu buat platform untuk membuat collaborativeworking culture yang baik. Dimulai dari kita sendiri, Studio Antelope, terus ke teman-teman yang kerja freelance bareng kita. Jadi kita ingin membuat sistem supaya kita benar-benar bekerja dengan baik, kulturnya baik. Sesimpel sistem feedback, kultur kerja di set dan di lapangan, segala macam itu, mimpi kita sebenarnya bisa nge-set itu, bisa menularkan budaya kerja yang kolaboratif.
Kamu tidak bisa sebagai seorang sutradara merasa cuma di industri film dan yang kamu pedulikan cuma film tok.
Misalnya gini, kita beberapa kali kerja bareng pihak ketiga, brand atau klien – ini untuk kerjaan yang komersial. Paling tidak, kita tidak mau sense dari awal yang kita tanam ke mereka itu sense seperti kita itu tukang jahit yang mengerjakan pesanan. Jadi mereka datang “Okay, lo harus mengerjakan seperti ini, seperti ini. Kalau tidak ya gue tidak mau kerja sama lo.” Dari awal yang selalu kita tanamkan ke teman-teman ini – yang pihak ketiga ini, bahwa kita tidak mau bekerja seperti itu. Kita itu ingin memiliki posisi yang sejajar. Kamu punya message atau value yang ingin kamu sampaikan lewat karya ini, kita juga tahu bagaimana cara-cara untuk menyampaikan itu. Jadi kita ingin menanamkan sense of collaboration ini sejak awal, sejajar jadinya.
Begitu pula dengan ketika kita kerja bareng freelancers. Ada director, ada DOP (director of photography), segala macam urusan teknis itu, kita pun juga men-treat mereka sejajar gitu sama kita. Dan sebenarnya ingin memberikan sense bahwa kita lagi bikin ini, kita berkolaborasi, bukan kompetisi, jadi tidak ada yang lebih baik. Kalau salah satu dari kita tidak beres ya kita tidak akan bisa menghasilkan yang baik. Jadi mimpinya seperti itu sih. Kalau film sama, maksudnya production, orang bilang production house itu cuma sebagian kecil dari yang kita lakukan sih sebenarnya karena visi ke depannya kita ingin jadi benchmark baru dalam hal working culture gitu.
Dari iklan, musik video, sampai video pendek, bagaimana pengerjaan masing-masing projek bisa memperkaya visi saat menjadi sutradara?
Ada yang bilang sutradara itu tidak perlu tahu segala hal, tapi perlu untuk tahu banyak hal – perlu tahu sedikit tentang banyak hal gitu. Jadi kamu tidak mungkin tahu segalanya, tapi setidaknya kamu mengerti sedikit-sedikit tentang banyak hal. Ya salah satunya itu tadi, musik. Bahkan bisa jadi bukan cuma musik, fotografi segala macam itu mempengaruhi, punya impact untuk seorang sutradara. Misalnya kita lagi ada sebuah proyek gitu, karya-karya lain bisa meng-influence kita sebagai sutradara. Jadi saya selalu bilang, kamu tidak bisa sebagai seorang sutradara merasa cuma di industri film dan yang kamu pedulikan cuma film tok.
Orang bilang kalau kamu mau jadi sutradara ya harus nonton film. Tentu harus nonton film. Tapi inspirasi tidak cuma ada di film. Di sekitar kamu, bahkan pameran foto, pameran lukisan, musik, seni tari itu semuanya bisa menjadi inspirasi kamu. Apalagi film adalah medium yang paling lengkap, di dalamnya lengkap, bisa ada apa aja, bahkan bisa ada seni bela diri di dalamnya. Inspirasi selalu datang darimana saja.
Bagaimana pentingnya alur cerita atau story telling di tengah perkembangan tingginya minat akan konten audio visual?
Kalau saya dan teman-teman di Studio Antelope percaya bahwa cerita itu adalah rajanya, story is king. Sesimpel ini, ketika kita mau cerita – jangankan cerita ya, kita masih membahas konsep besar – ke orang lain, kita membutuhkan alur, logika buat bercerita gitu. Basic dari story telling kan tiga babak, ada awal, tengah, dan akhir. Nah ketika kamu mau menyampaikan apa pun itu – maksudnya, jangankan cerita – kamu harus punya itu, awal, tengah, dan akhir. Awal kamu menjelaskan globalnya, tengah isinya, dan sementara akhirnya seperti ya what’s next gitu. Begitu pula dengan konten, dengan film, video segala macam. Itu sama pentingnya. Misalnya gini, banyak orang yang berpikir kalau di film, kamu nanti beresin semuanya di editing. Tapi ketika membicarakan editing, kita berbicara soal proses sebelumnya, yaitu ketika di lapangan syuting. Nah, syuting juga semua bergantung, ditarik lagi di awalnya itu ya cerita, skrip. Sebenarnya ketiganya melakukan hal yang sama, ketiganya itu penulisan sebenarnya.
Ketika kita membahas script writing, cerita, alur, dan segala teknis penulisan itu, kita lagi menulis. Tools-nya ini, laptop atau kertas, atau apapun yang kita pakai. Ketika directing di lokasi syuting, sebenarnya kita lagi menulis ulang, cuma mediumnya beda. Yang tadinya pakai laptop dan pakai kertas, sekarang mediumnya sensor film di dalam kamera itu. Tapi yang kita lakukan sebenarnya menulis, seperti menulis diary, cuma mediumnya beda. Nah, ketika editing, sama, kita lagi menulis juga, cuma alatnya beda lagi, alatnya software editing yang kita rangkai tadi.
Tapi sebenarnya tiga hal ini melakukan hal yang sama, yaitu menulis. Dan ketiganya berhubungan dengan ya itu tadi, alur, cerita, struktur, dan sebagainya. Jadi ketika awalnya ini tidak kuat, mau di tengahnya sekuat apapun, dan bahkan di editing-nya sekuat apapun tidak akan bisa menolong. Tapi kalau di awalnya ini sudah kuat, skrip ceritanya itu sudah kuat, directing-nya lemah atau editingnya lemah, setidaknya kita masih bisa, cerita itu masih bisa sampai deh. Jadi saya percaya yang di awal ini momen yang sangat penting.
Bagaimana pandangan Anda sebagai seorang sutradara melihat budaya streaming film yang kini menjamur?
Saya malah merasa saya lahir di era yang tepat sebenarnya karena ketika kita dengar cerita zaman-zaman dulu – film itu kan benda yang mahal, tidak semua orang punya akses untuk ke alat. Bahkan untuk alat, semua orang tidak punya akses untuk bisa menggunakan kamera film. Ketika mau syuting film, kamu harus melewati beraneka ragam tahap. Kalau kamu mau jadi sutradara, kamu harus jadi script continuity dulu, harus jadi astrada dalam beberapa film, sampai akhirnya kamu bisa jadi sutradara. Jadi ada tahapannya. Terus, kamera film mahal, seluloidnya pun mahal, jadi untuk bisa mengakses itu sulit banget. Begitu juga dengan pemutaran film. Orang tidak bisa sembarangan memutarkan film karena dulu medium putarnya cuma ya itu tadi, roll seluloid, dan itu pun juga semua orang tidak punya akses. Lalu muncul digital. Story is king. Ternyata juga ada beberapa persoalan yang masih sama, seperti soal pemutaran atau festival film deh misalnya. Orang mau bikin film waktu era digital awal-awal, mau diputar, okay dia harus submit itu ke festival film, atau submit ke programmer yang punya ruang pemutaran. Kalau mereka bilang boleh diputar, baru boleh diputar, baru film dia bisa bertemu sama penonton yang ditargetkan. Nah, tapi dengan adanya platform-platform streaming ini, termasuk YouTube, Viddsee, dan kalau yang lebih film panjang seperti Netflix, iFlix, dan sebagainya, menurut saya mendemokratisasi kamu sebagai pembuat film karena kamu bebas untuk memutar film kamu kapan saja kamu mau gitu.
Contoh paling gampangnya, YouTube. Jadi kamu bikin film, kamu tidak perlu lagi menunggu orang bilang iya atau tidak untuk film kamu ketemu sama penonton kan? Kamu bisa langsung upload, share link, orang bisa langsung nonton film kamu. Dan ini sebenarnya yang saya cari selama ini. Maksudnya, ini yang membuat saya senang dengan era ini, seperti kamu bisa bebas banget untuk membuat konten dan nge-share. Jelas tantangannya jadi banyak, tanggung jawabnya jadi lebih besar lagi gara-gara itu. Tapi kalau pertanyaannya itu sebenarnya saya merasa saya ada di era yang tepat.
Bagaimana video bisa mengangkat problem yang ada di masyarakat kini?
Tentu bisa. Setiap karya-karya yang saya buat, dan teman-teman di Studio Antelope buat itu sebenarnya selalu berangkat dari apa yang kita rasakan. Mungkin terdengar klise, tapi memang itu yang paling kita rasakan. Setiap berkarya, terutama karya-karya yang independen, yang dari inisiatif kita sendiri, kita selalu menganalisa dulu. Goals-nya apa, objektif dari proyek ini apa, ingin diputar di mana, siapa penontonnya – bahkan film pendek pun kita break down dulu. Lalu juga tentang relevan tidak cerita ini untuk disampaikan sekarang? Relevansinya apa, kenapa harus dibuat saat ini. Ada tidak cerita lain yang kita punya yang sebenarnya harus kita dahulukan untuk dibuat? Jadi hal-hal yang seperti itu yang akan selalu didiskusikan oleh kita. Soal itu penting banget karena kita mau semua karya kita relevan untuk dibahas saat ini.
Beberapa video produksi Anda ada yang dibuat berlatarkan budaya dan sejarah Indonesia. Bagaimana latar belakang tersebut, mulai dari aneka ragam suku dan ras, sejarah politik, mempengaruhi Anda dalam membuat konten video?
Tadi saya cerita bahwa saya dulu jurusan sosiologi, selama saya empat tahun kuliah di jurusan sosiologi, saya itu seperti diberikan tools oleh dosen-dosen saya untuk membongkar, bukan cuma membongkar tapi juga mengungkap apa yang selama ini kita anggap biasa-biasa saja, baik-baik saja, lalu kita bongkar dan ternyata ada banyak hal menarik di situ. Oleh karena itu, hal tersebut melatih kepekaan saya terhadap apa yang saya lihat di sekitar saya. Saya seperti dilatih untuk lebih kritis. Kritis kan arti sebenarnya bukan suka mengkritik, kritis kan artinya peka terhadap sekitarnya gitu. Jadi, tools yang dikasih itu membuat saya peka dan jadi lebih sensitif terhadap sekitarnya.
Terus selain itu juga ada hal lain, seperti latar belakang etnis saya. Saya lahir di keluarga Chinese dan kebetulan lahir di era sebelum ’98. Ketika ’98 itu saya masih berusia tujuh tahun dan peristiwa ’98 ya pasti berkesan buat kita semua. Pengalaman-pengalaman tumbuh sebagai orang Chinese di Indonesia itu juga di bawah alam sadar berpengaruh juga ke perspektif saya. Ada satu film pendek yang saya buat judulnya, “Langit Masih Gemuruh”, itu bercerita tentang itu, tentang pengalaman kita-kita ini yang ketika di tahun ’98 masih di bawah sepuluh tahun menghadapi peristiwa ’98.
Ada juga film lain tentang pernikahan Jawa, judulnya “Seserahan”. Itu sebenarnya tentang kegelisahan seorang pengantin menghadapi hari pernikahannya. Walaupun adatnya adat Jawa tapi kita membahas pernikahan secara lebih luas, tentang penting tidak sih upacara-upacara yang ada di pernikahan itu untuk dibuat sedemikian rumitnya. Film-film saya selalu menggambarkan hal yang universal sih. Maksudnya walaupun background saya mempengaruhi saya secara tidak sadar, tapi saya selalu berusaha supaya film-film saya ini bercerita tentang hal yang universal.
Ini adalah kali kedua film Anda ditayangkan di Film Musik Makan. Pengalaman apa yang Anda dapatkan saat karya Anda ditayangkan dalam gelaran ini?
Tahun lalu saya memutar film pendek berjudul “Elegi Melodi.” Itu diputar perdana waktu itu di Film Musik Makan. Jadi sebelumnya belum pernah diputar di tempat lain, benar-benar pertama kali. Gelaran Film Musik Makan tahun lalu cukup penting buat saya karena ya itu tadi, saya memutar film saya untuk pertama kalinya, pertama kalinya bertemu sama penonton langsung. Sebelumnya saya belum tahu respon penonton seperti apa dan di Film Musik Makan kemarin pertama kalinya saya bertemu penonton lewat film itu. Dan itu memulai journey dari film itu, dari film “Elegi Melodi” tersebut, sekarang sudah ada di YouTube. Jadi sepanjang dari bulan Maret sampai bulan Desember tahun lalu, film itu diputar di banyak tempat dan berakhir di Festival Film Indonesia kemarin, jadi nominasi film pendek terbaik. Dan itu semua berawal dari Film Musik Makan.
Jadi lumayan berkesan buat saya karena itu sih, karena pemutaran perdana, terus penontonnya juga ramai waktu itu, Q&A-nya juga seru, banyak yang nanya, banyak yang memberikan komentar dan responnya orang juga baik setelah pemutaran. Jadi itu yang berkesan. Selain itu juga kalau event-nya ya event yang seru ya. Maksudnya seperti biasanya acara film ya film doang, tapi sekarang ada lapak makanan milik filmmaker yang punya lapak makanan. Jadi seru banget sih.
Bagaimana menurut Anda film-film pilihan yang akan ditayangkan pada Film Musik Makan kali ini?
Ada beberapa yang sudah pernah saya tonton dan karyanya bagus banget, seperti filmnya Yosep Anggi Noen yang “Ballad of Blood and Two White Buckets.” Terus yang sudah saya tonton lagi “Kado” yang kemarin menang di Venice, itu juga bagus banget. Film panjangnya saya sudah nonton “Daysleepers” karya Paul Agusta juga seru banget, kemarin di Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Ada beberapa film pendek lain yang belum saya tonton, tapi saya sudah tahu sepak terjang pembuatnya, seperti film “Kembalilah dengan Tenang” karya Reza Fahriyansyah. Kemarin baru diputar di Clermont-Ferrand International Short Festival, salah satu festival film pendek paling bergengsi. Terus Ismail Basbeth juga bawa film pendek baru judulnya “Woo Woo.” Jadi ya lumayan tegang juga buat saya, di satu sisi juga membanggakan karena diputar bareng-bareng teman-teman saya ini. Saya juga tidak sabar buat nonton film-film yang belum saya tonton film pendeknya.
Bagaimana Anda melihat gelaran Film Musik Makan sebagai wadah diperkenalkannya film-film independen kepada masyarakat yang juga memadukan musik dan makanan dalam acaranya?
Salah satu kehebatan Film Musik Makan adalah dalam membangun hype dan mengumpulkan teman-teman anak muda buat datang ke acaranya. Dalam beberapa tahun sebenarnya festival film di Indonesia tidak sebanyak sebelumnya ya. Dulu ada beberapa festival yang dulunya ada, tapi belakangan, kembang kempislah festival film di Indonesia, terutama yang film pendek. Film Musik Makan ini sudah konsisten selama beberapa tahun selalu ada dan selalu jadi tempat buat kita untuk nongkrong, networking, lalu juga buat tahu film-film pendek Indonesia sudah sampai mana, dan juga karena diadakan di bulan Maret jadi kita bisa punya gambaran seperti film-film apa yang akan jadi highlight di tahun ini. Ya itu sih, itu serunya dari Film Musk Makan.
Tema video dokumenter apa selanjutnya yang akan diangkat oleh Jason Iskandar?
Jadi saya ini lagi ada satu proyek film panjang – bukan dokumenter sih, ini film fiksi, film fantasy gitu, tapi ceritanya belum bisa disampaikan lebih detail. Rencananya mungkin akan syuting tahun ini. Yang paling dekat sih itu. Terus tahun ini, seperti yang saya tadi bilang juga, kita ada satu film pendek yang akan kita buat, tapi sutradaranya bukan saya, sutradaranya Brandon Hetarie, salah satu sutradara in-house di Studio Antelope juga. Mungkin yang paling dekat itu sih kalau karya-karya yang dari Studio Antelope.
Solange tak henti-hentinya bereksplorasi dengan musiknya yang turut disertai penggambaran video berlatar artistik unik hingga tarian yang memanjakan penggemar sebagai pengungkapan penerjemahan karya musiknya. Setelah perilisan album terbarunya yang bertajuk “When I Get Home” pada 1 Maret lalu, kini kemudian ia meluncurkan video berdurasi lebih dari 30 menit berisi komponen esensial yang membuat utuh keseluruhan albumnya kali ini.
Diawali dengan turunnya video teaser pada akun Instagram @saintrecords, seperti yang diharapkan film ini dapat dibilang mengesankan. Hal itu nampak pada tampilan koreografi grup yang ketat, penggambaran solo yang sensual, serta lanskap surealis dalam putaran lagu-lagu dari album “When I Get Home”. Untuk membuktikan bahwa ia dapat melakukan hampir semua hal yang ia pikirkan, Solange mengarahkan dan mengedit filmnya sendiri bersama sejumlah sutradara, seperti Alan Ferguson, Terence Nance, Jacolby Satterwhite, dan Ray Tintori.
Bagian pendamping dalam film ini juga diisi dengan beberapa gambaran menarik yang akan melekat lama dalam benak setelah bagian chords terakhir menghilang. Bagian-bagian itu di antaranya adalah armada kendaraan DeLorean, headpiece berkilau yang juga mengisi seluruh wajah, seorang koboi yang terlihat tua, dan beberapa mesin yang keberadaanya tidak akan pernah terlihat pada sebuah kapal roket. Video teaser yang telah hadir sebelumnya juga memainkan peran yang cukup besar dalam film baru ini.
Album yang berisikan 19 trek yang baru saja dirilis ini berkolaborasi dengan orang-orang seperti Tyler, Creator, Sampha, dan Dev Hynes. Irama-irama lagu dan videonya sudah bisa didengar lewat streaming di Apple Music.
Menyimpan cinta terhadap film sejak dini, Aditya Ahmad sedang dalam perjalanan untuk menjadi salah satu sineas ternama di Indonesia. Berasal dari Makassar, kini karya Ahmad telah mendunia. Mulai dari Sundance sampai Venice, Aditya Ahmad merupakan seorang sineas muda yang karyanya patut dipantau.
WHAT
Bagi yang masih asing mendengar nama Ahmad, mungkin pernah menonton film pendek pertamanya “Sepatu Baru”. Melalui karya tersebut, ia berhasil meraih prestasi dari Berlin International Film Festival. Sejak itu, karirnya pun meroket. Saat menjalani masa jenuh dalam hidupnya, Ahmad diingatkan oleh salah satu mentornya, Mira Lesmana, untuk mencurahkan kejenuhan tersebut dalam karya. Melalui eksplorasi tersebut, lahirlah “Kado”. Berkat keunikan cerita dan konsep segar yang ditawarkan oleh “Kado”, Ahmad berhasil meraih penghargaan “Best Short Film” di ajang Venice International Film Festival yang ke 75. Kini, “Kado” adalah salah satu film pendek yang akan ditampilkan di acara Film Musik Makan bulan ini.
WHY
“Kado” menceritakan kisah seorang anak perempuan yang lebih nyaman mengenakan pakaian laki-laki. Namun, untuk mempersiapkan kado teman baiknya, ia harus mengenakan jilbab dan rok panjang di rumahnya. Melalui kisah ini, Ahmad tidak hanya mengangkat isu gender dan agama di Indonesia, tetapi juga isu seputar eksistensi dan identitas seorang manusia. Cerita mengenai pembahasan gender dan agama selalu disegani oleh masyarakat Indonesia. Namun, Ahmad tak gencar untuk mengangkat orang-orang yang tidak mempunyai tempat bercerita. Kiranya, dengan kesuksesan “Kado” ini, Ahmad terus terinspirasi untuk memberikan suara bagi mereka yang membutuhkannya.
The article from Jakarta Post popped-up in my timeline, a hive-friend of mine posted the article’s opening line on her Facebook “Despite being one of the most colonized regions in the 19th century, South-East Asia has a lack of postcolonial literature.”
She questioned how the organizer can be so sure about its “lack-ness”, she poses a very simple thought. Maybe, the works of all Indonesian and other South-East Asian scholars in English and or South-East Asian languages was not part of the movement. Rather, she referred to novels, poems, and any other works outside the academic approach that reflects postcolonial perspectives in the forms of arts, paintings, murals, dance, theatre, music, films, and exhibitions.
Not only did we find the claim that South-East Asia has a lack of postcolonial literature intellectually offensive, I found that the article – which I can only imagined is the writer’s reflection during the symposium – is utterly misguided and has a lack of imagination. As if the colonial discourse was only boosted up by people educated in Academia. They seem to have forgotten to acknowledge the existence of any other movements that collided and was enriched during the discourse. For me, this is another erasure within the colonial binaries – that categorises people based on their assumptions and render them to suit their own vision of ‘the other’.
Some of the people that are involved in the symposium I know very well. They are more than capable to tackle any other issues that are related and posed in the forum, but I chose not to be involved in this reflection. Clearly more discussions on decolonial differences towards the epistemic coloniality are needed. I think my conversations should focus on the more rotten systemic institutions that posed in the institutional critique.
They were discussing the consequences of colonization itself, which it’s possible to question after their contribution to colonial past supposed to be in the highlight in the first place. Let me point out that before the organizer’s claim to the “lack-ness” in the South East Asian context today, they should refer to the Humboldt Forum, a new museum in Berlin as one of Europe’s most ambitious current cultural projects. Or perhaps to look back farther on how they cut into continents like a piece of cake. I see a blind spot in the colonial perspective.
To organize such a forum, equipped with good financial resources to do research, they should start to question their own position; where they stand, and why they addressed this ‘urgency’ in the context of South-East Asia. One needs to really think before they jump to such premise, and it only works for a bombastic jargon.
The idea of “lack” is based on the measurement, it needs a standard, but what system are they basing this measurement on? To what comparison are they trying to understand? Is it the number of thinkers trying to prove that the struggle is not visible? I refuse their standardization. Not only because, as a reflection in the colonial times, they used these tools to reduce humans into objects, but mainly because in this case, it’s a proof of ignorance. A refusal to see the overlapping of power, the abuse any other form of struggle that still very much exist. Such struggle from the grassroots are usually impoverished and eliminated from a discourse before they can even rise to the surface, let alone given a wide opportunity to express opinions. Instead, the people who hold the power, using pejorative language to signify an act of disturbance in society, separatist movements, slander of a belief or the overused-label of the left.
Colonialism had a heterogeneous effect, it is necessary to understand what actually happened during the imperialism expansion period. The end of colonialism fabricated a fundamental economic inequality, from education rates, to infrastructure limitations – not measured by physical development styles, and life expectancy in the former colonies. Those who were able to benefit from the new economic opportunities on forced labor, slavery and stolen land shouldn’t be given a voice to draw such conclusions. Most obviously, we should observe how the world today is the outcome of the colonialist legacy.
I believe, in the era of neoliberalism, as long as one has a valuable tag, they are ready for transaction. Everything is ready to be sold on the market. But such reappropriations are needed to reclaim back these ‘invisible’ struggles to exist and engage in the public domain, since it has a more complex entanglement in the global society where we live today.
Diselenggarakan di Galeri Nasional, Festival Bebas Batas telah menjadi festival pertama di Indonesia yang memperlihatkan karya-karya seni dari berbagai seniman disabilitas. Didukung oleh British Council Indonesia, festival ini merupakan bagian dari Festival UK/ID 2018 dalam upaya untuk menghidupkan semangat inklusivitas selama 17 hari penyelenggaraannya di bulan Oktober lalu.
Merupakan hasil kerja sama antara British Council Indonesia dan Whiteboard Journal, “People of Disabilities” terlahir untuk menyorot cerita tokoh-tokoh difabel dan juga para penikmat acara ini, mulai dari musisi, atlet sampai pendukung penyelenggaraannya. Simak video berikut untuk mendengar dan melihat warna-warni cerita mereka.
Bruce Lee tak hanya meninggalkan kenangan akan kehebatannya dalam dunia kung fu dan akting, namun ternyata ia juga telah menulis cerita menarik tentang kedua hal tersebut menjadi sebuah serial televisi. “Warrior” adalah seri drama mendebarkan yang terinspirasi oleh tulisan-tulisan Lee. Ditetapkan untuk dirilis di Cinemax pada 5 April, film ini adalah sebuah drama kriminal – terdiri dari 10 episode – berdasarkan cerita yang dibuat Lee beberapa dekade lalu.
Trailer “Warrior” yang baru saja dirilis, menampilkan gambaran perkelahian sesuai dengan sifat penguasaan Bruce Lee. Dengan menampilkan koreografi pertarungan yang mulus, serial ini dibintangi oleh aktor utama Andrew Koji, Kieran Bew, Olivia Cheng, Dianne Doan, Dean Jagger, Langley Kirkwood, Hoon Lee, Christian McKay, Jason Tobin, Joanna Vanderham, Tom Weston-Jones, serta Perry. Aktor kenamaan Indonesia Joe Taslim juga turut hadir meramaikan laga ini.
Berlatar masa akhir 1800-an selama Tong Wars di Chinatown, San Francisco, kisah ini bercerita mengenai keajaiban seni bela diri dari Ah Sahm. Setelah emigrasi dari Tiongkok ke Teluk, ia menjadi seorang kaki tangan politik untuk salah satu pemimpin Tong paling kuat di daerah itu. Dengan keyakinan anti-imigrasi ditambahkan di atas pertempuran fisiknya, Sahm harus berjuang untuk bertahan hidup dan kehormatan keluarga kriminal terorganisir yang dipilihnya.
Serial ini menampilkan jajaran pencipta Hollywood yang mengesankan, seperti sutradara “Fast and Furious” Justin Lin, dan co-creator “Banshee”, Jonathan Tropper, sebagai produser eksekutif. Putri Lee, Shannon, juga merupakan produser eksekutif. Dengan diarmadai oleh tim produksi yang sudah handal dalam bidangnya seperti itu, tentu saja film ini akan menjadi penantian yang patut ditunggu sebagai salah satu film terbaru dari dunia bela diri kung fu.
Dari penyelenggaraan pertamanya, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) telah menjadi acara tahunan yang ditunggu-tunggu para pecinta sastra Indonesia juga mancanegara. Untuk melanjutkan semangat tersebut, UWRF baru saja mengumumkan tanggal resmi penyelenggaraannya tahun ini. Akan hadir di tanggal 23-27 Oktober 2019 mendatang, UWRF sekali lagi menampung para penulis dan peminat sastra dari berbagai penjuru dunia untuk berbagi cerita.
Masih menyimpan inspirasi dari filosofi Hindu, tahun ini UWRF menggarap tema “Karma” sebagai upaya untuk mengupas dampak perilaku manusia terhadap lingkungan sosial. Melalui diskusi yang dipimpin oleh sosok-sosok penulis, pelukis, sutradara sampai aktivis, pengunjung festival dapat memahami konsekuensi dari tindakan mereka, baik positif maupun negatif.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, festival tahun ini akan didampingi dengan karya seni yang sesuai dengan tema acara. Kali ini, karya tersebut dipersembahkan oleh Samuel Indratma, seorang seniman visual dan salah satu pendiri dari Apotik Komik – salah satu kolektif seni publik ternama di Yogyakarta. Sebagai simbol pilihan, Indratma memilih untuk merepresentasikan perilaku manusia terhadap “Karma” melalui topeng dan membayangkan karma sebagai siklus yang berputar yang kemudian kembali lagi.
Melihat tema-tema yang selalu dibawakan oleh UWRF setiap tahunnya, “Karma” terlihat sebagai tema yang paling sadar diri. Mulai dari perilaku manusia terhadap orang lain, sampai perilaku terhadap lingkungan sekitar, kiranya para pengunjung UWRF dapat memahami dampak langsung dari perilaku maupun kegiatan kita sehari-hari.
Merayakan hari perempuan dunia, Episode Loka Suara kali ini berisi lagu-lagu dari para perempuan Indonesia. Mulai dari musisi dari Meda, Yogyakarta, Jakarta hingga Malang, berikut adalah beberapa nama yang akan mewarnai masa depan musik kita.
Tracklist: 01. Ramengvrl – I Am Me 02. Beetleflux – Glitch (feat. Dara Delila) 03. Future Collective – Gema Suasana (feat. Danilla) 04. Vira Talisa – Primavera 05. Christabel Annora – Menunggu Pagi 06. Grrrl Gang – Pop Princess 07. Elenin – Turtleneck 08. Monica Hapsari – Pulang 09. Rara Sekar – Apati 10. Sisilia Cellist Virgana – Samara Bergelora
Damien Hirst sudah memiliki kehadiran yang cukup banyak di Palms Casino Resort Las Vegas yang diwakili oleh karya-karyanya. Contohnya, seperti patung iblis tanpa kepala setinggi 60 kaki bertajuk “Demon With Bowl” yang akan menjadi pusat perhatian di kolam terbaru, hiu harimau setinggi 13 kaki, atau bahkan aksesoris yang ia rancang untuk bar yang memang telah melalui pemesanan sebelumnya. Namun sekarang, artis ternama itu telah merambah pada perancangan kamar hotel seluas 9000 kaki persegi yang datang dengan pemandangan Las Vegas Strip. Bertajuk “Empathy Suite”, suite ini akhirnya memegang gelar kamar hotel termahal di dunia.
Ada enam karya seni asli Hirst yang menghiasi kamar itu, di antaranya yang menarik perhatian adalah “Winner/Loser” yang dipasang di dinding , yakni karya berbentuk dua hiu banteng yang digantung di dua tangki formaldehida, motif kupu-kupu yang tersebar pada furnitur, kain sarung bantal hingga karpet ruangan, detail pada perabotan seperti lemari obat, serta 13 kursi bar yang dipenuhi limbah medis. Kamar itu sendiri memiliki area lounge dan teater yang dapat menampung 52 tamu, jacuzzi terbuka yang tentunya juga dihiasi oleh kupu-kupu, gambar pil, dan dua ruang pijat.
Untuk satu malam menginap di kamar ini, penginap harus mengeluarkan sekitar 100.000 USD atau setara dengan 1,4 milyar rupiah. Atas harga tersebut dalam sekejap telah menjadikan ruangan tersebut sebagai salah satu kamar hotel termahal di dunia, atau lebih tepatnya yang termahal untuk saat ini.
Balenciaga baru saja membanjiri webstore-nya dengan berbagai potongan baru dari koleksi Fall/Winter 2019 mereka, termasuk pakaian baru, sepatu, aksesori, dan banyak lagi. Bersamaan dengan rilisnya kali ini, merek adibusanaParis ini juga kembali dengan serangkaian Campaign Supermarket Tote terbaru yang dalam beberapa tahun ini konsisten menyalurkan getaran super-normcore pada berbagai tas belanja mewah. Salah satu di antara tasnya yang menarik perhatian adalah tote 50/50, color split antara bagian depan dan belakang kantong yang bergambar cover majalah ‘Balenciaga’.
Hadir dengan bahan kulit, karya unik ini menggunakan citra seperti sampul majalah di kedua sisi tas, baik merah atau biru. Demna Gvasalia tidak bermain-main, membawa pemasaran label secara maksimal dengan menanamkan kemiripan lookbook yang melekat pada tote dengan menggarisbawahi berbagai detail potongan yang masing-masing model pakai. Melengkapi aksesori tas jinjing terbuka, tas tanpa liner ini juga menyertakan kantong di dalamnya untuk kunci, dompet serta uang tunai pengguna.
Tas serbaguna buatan Italia ini kini telah tersedia di situs Balenciaga dengan harga eceran 1.790 USD atau setara dengan 25 juta rupiah. Tertarik untuk membelinya?
Perempuan pada dasarnya tidak berbeda dengan laki-laki. Terlepas dari bingkaian dan cap yang dibentuk oleh masyarakat terhadap perempuan, baik dari segi keahlian maupun kemampuan, mereka bisa melakukan apa saja dan dapat secara mandiri menentukan arah tujuan hidup mereka. Perihal itupun termasuk juga dalam hal berkarir. Bertepatan dengan Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada 8 Maret ini, Yacko kembali diundang sebagai representasi rapper wanita Indonesia untuk tampil dalam La Belle Hip Hop Festival (LBHHF) yang bertempat di Brussels, Belgia. Ajang hip hop internasional yang akan berlangsung mulai tanggal 8-15 Maret 2019 ini akan mengangkat tema “Soeur Yes Soeur” (Sister Yes Sister).
Pada temanya kali ini, festival ini mencoba menggambarkan tekad wanita dalam menjawab antara perang, solidaritas, serta kesatuan visi dan misi bahwa wanita berhak menentukan tujuan yang mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri. Ide yang ingin ditujukan dalam gelaran ini juga untuk mengangkat bahwa perempuan tidak lagi membutuhkan orang lain untuk menyetir bagaimana mereka harus bersikap saat dibelenggu oleh berbagai stereotip terhadapnya. Ibaratnya, rapper yang menyemarakkan acara ini diorganisasikan sebagai pasukan elit, bertemu untuk memerangi berbagai isu, termasuk diskriminasi, kekerasan seksual, dan lainnya. Karena bukan rahasia lagi bahwa keadaan darurat telah dinyatakan pada tingkat kini dan perempuan pun memahami serta dapat mengambil tindakan yang sesuai untuk mendapatkan haknya.
Uniknya, yang menyemarakkan acara kali ini semuanya adalah rapper perempuan yang diundang dari berbagai belahan dunia, mulai dari Shadia Mansour (UK), Comagatte (IT), Dynasty – Ya Girl DY (USA), Cléo (BE), Gloria Boateng (BE), Lidy Fa (BE). Yacko sendiri akan tampil di hari pertama LBHHF berlangsung (8 Maret 2019) di Le Botanique, Brussels dan ia akan membawakan 7-8 lagu bertemakan isu-isu perempuan termasuk juga akan menyatakan di panggung LBHHF bahwa ia menolak dengan keras RUU Permusikan yang baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di dunia musik Indonesia.
Selain konser, selama 8 hari di 8 lokasi yang berbeda akan ada rangkaian acara lainnya yaitu seperti Graffiti Jam, Hip Hop Up Shop, Movie Documentary, Panel Discussions, New La Belle Hip Hop Song, Workshops, dan After Party.
Seperti yang telah diumumkan sebelumnya, kami sedang menjalankan proyek cetak pertama kami yang berbentuk zine. Bertajuk #WaktuBicara, zine ini akan menggarap dua topik yang menurut kami memiliki relevansi di antara iklim politik dan sosial sekarang, yakni keberagaman dan kesetaraan. Tulisan submisi dari pembaca kami akan dipilih langsung oleh tim kuratorial yang terdiri dari Cholil Mahmud, Irwan Ahmett, dan Cecil Mariani. Masing-masing kurator pun memiliki kriteria sendiri menyangkut tulisan yang mereka cari, berikut adalah pernyataan mereka.
Irwan Ahmett
Kemampuan intelektual kita telah terlatih dimulai dari berkembangnya berbagai rasa artifisial mie instan, kini saatnya menuangkan kembali dalam tulisan tentang keberagaman seperti fanatisme kebenaran dalam pilihan kuah ataupun goreng, keduanya tetap disuka baik oleh kawan ataupun lawan walaupun kita mengetahui segala kepalsuannya.
Cecil Mariani
Dalam merayakan ragam dan kesetaraan, perbedaan atau persamaan apakah yang sungguh relevan dan yang irelevan? Apa dan siapa yang kita hargai demi fantasi zona nyaman? Atau yang didorong tiap ketakutan tersembunyi kita? Apa dan siapa yang tanpa sadar kita tindas dengan bias ignoran dan blind spot subyektif pengalaman kita? nilai-nilai siapa yang menyelinap mendikte kita? tentang yang baik, yang beda, yang normal? Yang setara? Yang beragam? Apa yang selalu luput kita pertanyakan dalam suatu perayaan?
Cholil Mahmud
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang terus mengganggu dan mengusik kita, tentang gejala intoleransi di sekitar kita, tentang pernyataan bahwa kita bangsa yang ramah dan tenggang rasa, yang kita terima begitu saja dan sekarang hilang entah ke mana. Tuanglah buah pikiranmu, bercakap-bercakaplah.
Sekali lagi kami mengajak Anda untuk berbagi gagasan bersama kami. Jika Anda tertarik untuk berpartisipasi dalam zine #WaktuBicara, inilah beberapa poin yang perlu diperhatikan:
– Format artikel dapat berbentuk tulisan, video atau photo essay – dengan catatan karya Anda mengikuti tema Kesetaraan dan Keberagaman
– Submisi bisa berbahasa Indonesia atau Inggris
– Ketentuan jumlah kata Esai dan Creative Writing 800 – 2000 kata
– Email karya anda ke: info@whiteboardjournal.com dengan subject WAKTU BICARA ZINE
– Sertakan foto diri dan biografi singkat dengan submisi Anda (Jika Column Anda terpilih, kami akan mencantumkan profil Anda)
– Deadline submisi terakhir diperpanjang sampai tanggal 15 Maret 2019
Guna mengedepankan kesadaran lingkungan pada era ini, banyak pegiat dari berbagai bidang, termasuk salah satunya dari segi arsitektur, telah memulai aksinya – antara lain perusahaan arsitektur skala dunia BIG yang tengah melakukan proyek terbarunya untuk membuat stadium baseball baru di Oakland, California. Berlokasi di pinggir pelabuhan kota Howard Terminal, tak sekadar mempertimbangkan kenyamanan penggemar dalam menonton klub favoritnya bertanding, pembangunan stadium ini juga bertujuan menciptakan ruang berputarnya ekonomi serta hadir untuk mengatasi masalah lingkungan yang ada.
BIG baru saja merevisi proposal stadium baseball baru di Oakland, California menjadi “bentuk yang lebih bundar” dengan taman landai di atasnya. Pembaruan datang hanya beberapa bulan setelah perusahaan pertama kali mengungkapkan rencananya pada Desember lalu untuk membuat rumah baru tim Oakland Athletics Major League Baseball (MLB) – yang juga dikenal sebagai Oakland A’s .
Di antara revisi utama untuk desain awal BIG adalah tata letak tempat duduk stadion untuk 27.000 penonton, yang telah diadaptasi dari formasi sudut menjadi bentuk bulat. Tim arsitektur ini menyatakan bahwa bentuk revisi akan menawarkan sejumlah manfaat dibandingkan konsep awal. Hal itu termasuk akses lebih mulus, efisien, dan lancar ke stadion baseball dari lingkungan sekitarnya, serta kemampuan lebih baik untuk menangkap energi penggemar di dalam stadion baseball guna pengalaman lebih menarik dan intim. Membantu menawarkan pemandangan tepi laut yang lebih baik, taman berumput di atap juga telah dirancang ulang. Cladding eksterior juga berbeda dari skema sebelumnya. Pada gambaran kali ini cladding dibungkus oleh ribuan strip vertikal yang membuat interior ballpark terlihat lebih tertutup dan privat.
BIG, yang juga telah merancang kompleks olahraga untuk Austin dan Washington DC, diminta untuk merancang stadion MLB baru untuk situs industri perkotaan yang kurang dimanfaatkan dan kota itu berharap untuk dibangun kembali pembangunan yang berkelanjutan. “Salah satu prioritas utama kami adalah memastikan bahwa proyek ini menciptakan manfaat ekonomi, lingkungan, dan masyarakat yang lebih luas bagi masyarakat Oakland,” kata presiden Oakland A’s, Dave Kaval. Ia semakin melihat bahwa proyek stadium baseball ini dapat menjadi katalisator penting untuk mengatasi permasalahan panjang tentang lingkungan di pelabuhan dan di Oakland Barat.
Selain stadium baseball baru, kompleks ini juga akan disediakan restoran, ritel, ruang bisnis kecil, dan ruang terbuka. Studio juga mengusulkan sistem gondola baru bagi penggemar untuk mengakses stadium dari pusat kota.
Di daerah Terogong terdapat bangunan baru yang menampung beberapa pendatang baru di ranah kuliner Cilandak. Di sudut kecil di bagian belakang gedung tersebut, terletak Sliced Pizzeria. Menyajikan pizza versi Italia dengan toko berkonsep minimalis, wajar saja jika kedai ini cepat menarik perhatian pecinta pizza se-Jakarta.
Foto: Moses Sihombing
Foto: Moses Sihombing
Foto: Moses Sihombing
Foto: Moses Sihombing
Foto: Moses Sihombing
WHY
Berkat pembukaan toko-toko kecil yang memperkenalkan pizza otentik Italia seperti Sliced,perkembangan tren ini pun semakin ramai. Pizza yang disuguhkan di Sliced sangat berbeda dari pizza yang dikenal warga Indonesia melalui restoran fast food pada umumnya. Menawarkan menu campuran rasa klasik dan unik, Sliced juga menggunakan adonan pizza berbeda, yakni lebih tipis dan lebih besar. Untuk melengkapi kelezatan pizza yang ditawarkan, Sliced juga menyediakan area outdoor yang nyaman. Di sini, pengunjung tidak hanya bisa menyantap satu slice pizza, tapi juga menikmati secangkir kopi sembari berbincang dengan para sahabat.
Foto: Moses Sihombing
Foto: Moses Sihombing
Foto: Moses Sihombing
Foto: Moses Sihombing
Foto: Moses Sihombing
Foto: Moses Sihombing
WHAT
Jika baru pertama kali berkunjung ke Sliced, tentu akan tergiur akan variasi menu yang ditawarkan. Namun, satu rasa yang patut dicoba adalah Special Trufflepizza. Pizza tersebut dibuat dari campuran jamur, minyak dan puree truffle, dan dibalut dengan keju mozarella yang creamy, sehingga menciptakan sensasi rasa luar biasa. Lebih dari itu, mereka juga menyajikan satu menu pizza manis yang cukup unik, yakni pizza Nutella. Dengan campuran base bechamel dan nutella, kombinasi asin dan manis ini juga patut untuk dicicipi.
Interior yang juga turut dihiasi oleh berbagai karya seni seniman memang telah menjadi suatu ‘standarisasi’ bagi sebuah hotel untuk menampilkannya sebagai sebuah daya tarik unggulan. Namun, bagaimana dengan hotel yang tidak hanya menampilkan kreasi seniman, tapi juga mewadahi proses saat seorang seniman merancang projek sebuah karya? Pada 5 Maret lalu Hotel YELLO baru saja meluncurkan YELLO Creative Hub untuk mendukung skena seni Indonesia dan juga mewadahi seniman dengan menyediakan space untuk memamerkan karya seni pada publik. Tak hanya sampai di situ, dengan adanya creative hub ini, mereka juga berkeinginan membuat sebuah titik berkumpul untuk membentuk lebih banyak pemikiran kreatif, serta pertukaran informasi.
Menjadi bagian dari visi misi sebuah Hotel YELLO untuk menjadi tempat yang tidak hanya sebagai tempat menginap, namun juga memberikan pengalaman baru pada hotel ekonomis yang ditargetkan pada netizen dengan penekanan kuat pada seni dan teknologi perkotaan. Pada tahun 2019 ini, mereka memulai tahun dengan rangkaian acara-acara kreatif, salah satunya yaitu dengan mengadakan pameran tunggal dari Zikry Rediansyah yang bertajuk “All You Need is Love” dalam rangka hari Valentine di Hotel Yello Harmoni, Jakarta dari 14 Februari hingga 6 Maret lalu. Dengan beraliran naivisme, karya-karya Zikry hadir menawarkan sisi perspektif kekanak-kanakan yang menciptakan suatu ilusi terhadap sebuah objek dapat terlihat melayang. Ia juga menampilkan karyanya dalam bentuk stiker, kamus, zine, dan tas.
Seiring dengan acara pameran kali ini, kegiatan seni bersama anak-anak pun dilakukan secara kolaboratif dengan TAUZIA Equal Chance, yaitu suatu program tanggung jawab sosial (CSR) dari Tauzia Hotels. Bertujuan mengedukasi anak-anak kurang beruntung untuk memberikan peluang masa depan lebih baik, sekitar 15 anak diajak berekspresi sesuai keinginan mereka dengan melukis tas tote dari kain yang selanjutnya ditimpali dengan sentuhan khas dari Zikry. Hasil kreasi anak-anak pun diperjualkan serta hasilnya akan didonasikan untuk Tauzia Equal Chance.
Rangkaian acara dari pameran “All You Need is Love” hanyalah permulaan di mana Hotel YELLO yang berlokasi di kota lainnya juga akan mengikuti dengan kegiatan kreatif lainnya di Surabaya dan Bandung sampai akhir tahun 2019. Jika banyak hotel bisa tampil dan menggelar acara semacam ini, tentunya hal ini akan menjadi salah satu pertumbuhan pesat bagi ranah ekosistem kreatif untuk berkontribusi secara progresif bagi publik.
Maison Européenne de la Photographie (MEP) baru saja membuka pintunya pada 6 Maret lalu untuk pameran fotografi karya-karya Ren Hang ditampilkan di Paris. Ini adalah kali pertamanya Ren Hang dihormati dengan pertunjukan tunggal di Prancis. Bertajuk “Love, Ren Hang”, ini adalah ode untuk nude yang secara ahli ditangkap oleh mendiang bertalenta muda itu.
Artis yang berbasis di Beijing ini bunuh diri pada tahun 2017 setelah menderita siklus depresi. Meskipun hidupnya secara tragis terpotong pada usia 29 tahun, fotografer Tiongkok ini merupakan salah satu talenta paling terkemuka di masa kini. Karyanya diselingi dengan keindahan yang melankolis dan provokatif. Namun yang membuat karya-karyanya semakin istimewa adalah sosok-sosok telanjang yang dipotretnya turut terpaut dalam bentuk narasi puisi.
Lebih dari 20 pameran solo dan 70 pameran kolektif telah didedikasikan untuk Ren Hang dan warna kehidupannya, dari Tokyo, New York dan Kopenhagen, serta Taschen dengan menerbitkan monografi karyanya pada tahun 2017. Pada saat kematiannya, karirnya sedang berada di puncak. Tahun ini, MEP memberi penghargaan pada Hang dengan pameran berjudul “Love, Ren Hang”. Lebih dari 150 foto dipamerkan di lantai dua galeri, foto-foto penuh dengan erotisme dan humor naluriah yang membuatnya mendapatkan panggung dalam dunia fotografi.
Karya-karya Ren Hang yang produktif telah berfungsi sebagai bentuk komentar yang menyentuh topik identitas diri dan kebebasan seksual. Selain itu, acara ini juga bertujuan menyoroti puisi Hang yang merupakan pengaruh besar pada karya fotografinya.
Pameran ini akan diselenggarakan hingga tanggal 26 Mei 2019 di Maison Européenne de la Photographie, Paris, Perancis.
Kira-kira 3 tahun lalu, sebuah kolektif musik elektronik leftfield bernama Dekadenz muncul dan menawarkan party tidak biasa lewat seleksi musik mereka. Diisi oleh 3 ‘orang lama’ di dunia malam Jakarta, wajar jika keberadaan unit ini sudah punya karakter pengikut tersendiri. Jonathan Kusuma, Aditya Permana dan Ridwan Susanto jelas sudah tidak asing bagi mereka yang sudah fasih dengan lantai dansa di Jakarta Selatan.
Namun kini melihat semakin berkembangnya ekosistem party di Jakarta dan semakin kritisnya kuping pendengar yang datang di party-nya, Dekadenz merilis EP dengan judul “Themes for Divided Tribes Vol. 1”. Dirilis November 2018 lalu, jilid pertama ini diisi dengan sederet nomor buatan penggerak di balik Dekadenz serta kawan-kawan terdekatnya, yakni Komodo dan Sunmantra. Pujian pun datang untuk EP ini tak hanya dari pendengar di Indonesia tapi juga link mereka di luar negeri.
Namun tidak menunggu lama – hanya 4 bulan – mereka kembali merilis EP Volume 2. Dalam rangka menyambut ulang tahun ke-3, di EP ini Dekadenz mengajak A Fine Tuning Creation hingga produser asal Bangkok Sunju Hargun untuk menyumbangkan edit beragam. Masih menawarkan unsur raw drums, synth atau post punk, EP berisi 4 lagu ini didesain untuk menggelitik pendengar dalam menebak lagu asli yang diproduksi ulang oleh mereka. Terdapat scoring film, lagu EBM hingga lagu trance yang diedit sedemikian rupa guna menonjolkan karakter Dekadenz yang identik dengan nuansa bunkerparty.
Pada produksinya, EP Volume 2 dibuka oleh trek Sunju Hargun, lalu dilanjutkan oleh Omar Joesoef dengan trek trance dan Aditya Permana lewat trek no wave/tribal, kemudian ditutup dengan nomor funky dari A Fine Tuning Creation. Patut dicatat, A Fine Tuning Creation adalah sosok di balik unit Space System dan Listen to the World (LttW), dengan latar belakang musik klasik, pecinta Antônio Carlos Jobim yang kemudian mengeksplorasi musik blues, funk, jazz, electro, techno hingga house. Mendengar dirinya mengisi edit untuk EP ini tentu melahirkan ekspektasi dan rasa penasaran tinggi akan seperti apa tone yang ia munculkan. Selain itu, melabeli treknya dengan sebutan funky jelas merupakan understatement, namun pada pendengaran pertama terdapat kompleksitas yang tidak lazim ditemui pada nomor elektronik yang membuatnya irresistible.
Jika membahas ekspektasi dan buah karya yang ditawarkan pada EP terbaru Dekadenz, terdapat progresi signifikan yang bisa ditemui dari benang merah antara trek. Adanya harmoni satu sama lain membuat EP ini terasa diproduksi secara hati-hati hingga bisa didengar berulang kali tanpa terasa membosankan.
Begitupun jika mencari beat pada EP ini, kalian bisa menemukannya di tiap trek berkat variasi karakter dari tiap tamu yang diundang. Ibarat sebuah party terakhir di akhir masa, orang-orang di dalam EP ini rasanya mampu memeriahkan detik-detik terakhir di dunia lewat party animalistic yang membuat orang-orang menari dengan musik slow mid tempo dan kemudian terbakar di lantai dansa. Semoga di EP Volume 3, Dekadenz menaikkan kualitasnya dan menawarkan sederet nomor yang lebih eksploratif.
Setiap tahunnya, 8 Maret jatuh sebagai tanggal spesial bagi wanita di seluruh dunia. Berawal di tahun 1917, 8 Maret dijadikan hari libur nasional di Rusia setelah kesuksesan wanita di sana untuk memperoleh hak pilih. Terus berkembang dan menyebarkan inspirasi ke jutaan wanita di negara-negara lain, akhirnya di tahun 1975, United Nations resmi mengangkat 8 Maret sebagai International Women’s Day. Meski kita sudah mengalami kemajuan pesat berkat perjuangan nenek moyang kita, masih banyak ketidakadilan yang ditemui oleh wanita setiap harinya. Oleh sebab itu, dalam rangka International Women’s Day Jumat lalu, kami berdiskusi dengan beragam tokoh wanita ternama di Indonesia mengenai peran seorang wanita dalam masyarakat Indonesia. Mulai dari perbandingan ekspektasi sosial, gerakan feminisme dalam negeri sampai peran seorang wanita modern di rumah tangga.
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Ini pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab, karena dalam beberapa aspek kita sudah maju, dan dalam beberapa aspek lain, sepertinya ada kemunduran. Saya melihat masyarakat yang justru semakin polarised antara dua sisi. Di satu sisi, semakin banyak perempuan dan lelaki yang “woke” akan isu perempuan, encourage self-empowerment dan ingin berubah standar sosio-budaya yang berlebihan tersebut, demi kesejahteraan dan keadilan bagi kita semua, tidak hanya bagi kaum perempuan Indonesia.
Dan di sisi lain, baik di media sosial, maupun di kehidupan nyata, semakin banyak kelompok yang menggunakan “logika agama” justru untuk melanggengkan tekanan dan ekspektasi sosial terhadap banyak perempuan. Di media sosial terutama, jelas terlihat propaganda of “creating fear and division” antara dua sisi ini, sedangkan menurut saya, seharusnya kita semua bisa coexist kalau kita benar-benar belajar untuk work for a common goal, social welfare and justice for all. Justru sebagai seorang yang menganggap diri a Muslim Feminist, I truly believe the values of my religion encourage equality, and seeking knowledge and seeking justice. Tapi entah kenapa, ada agenda untuk polarise masyarakat kita, semua seakan-akan kita dipaksa pilih loyalitas; “kita” atau “mereka”, sedangkan saya sangat percaya bahwa ada jalan tengah yang baik untuk kita semua.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Menurut saya gerakan feminisme sangat penting untuk perkembangan budaya Indonesia. Tapi saya juga sangat sadar akan anggapan kurang baik terhadap kata feminist. Makanya sebelum menyampaikan pendapat soal feminisme, saya selalu merasa harus jelaskan feminisme versi saya dulu, biar orang tidak salah paham. Feminisme menurut saya sangatlah simple, yaitu, kesetaraan yang artinya kita bisa sadar akan perbedaan fisik antara perempuan dan lelaki, tapi kesempatan dalam hidup harus sama. Kesempatan untuk mengakses pendidikan, healthcare, justice, the job market etc. demi kehidupan yang lebih sejahtera dan adil. Tidak ada agenda lain kok, selain memperbaiki kehidupan setiap warga Indonesia, dengan mencapai kesetaraan. Tapi saya juga sadar, bahwa dari dulu budaya Indonesia cukup patriarki, jadi sebuah gerakan yang datang dan membuat sebuah perubahan dalam status quo, tentunya tidak akan diterima semua orang.
Tapi balik lagi ke apa artinya menjadi orang Indonesia bahkan manusia yang baik? Apakah bisa dibilang budaya yang baik saat kita melanggengkan ketidakadilan bagi perempuan? Menurut saya, tidak. Feminisme dan gerakan untuk kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan ini justru seharusnya membuat budaya kita semakin baik.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Ya menurut saya ini absurd. Justru kenapa saya begitu yakin feminisme cocok dengan masyarakat Indonesia, karena saya melihat sejarah Indonesia penuh dengan tokoh-tokoh perempuan yang memiliki jiwa feminis. Kartini, Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, apa kemiripan perempuan-perempuan hebat ini? Mereka semua dapat mengidentifikasi ketidakadilan, dan ingin melawannya demi Indonesia yang lebih baik.
Mungkin mereka tidak pernah menyebut diri feminism, tapi values mereka sama dengan values feminisme. Mereka adalah perempuan-perempuan hebat yang pada zamannya bisa dibilang radikal, bisa dibilang melawan norma atau value sosio-budaya pada zaman itu, they were trail-blazers in their own right. Nah, apa bedanya dengan aktivis-aktivis Indonesia jaman sekarang yang menganggap diri feminism? Sama-sama hebat sebenarnya, dan sama-sama harus work hard to fight existing injustice against women.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Terus terang, saya tidak puas. Saya senang semakin banyak perempuan yang ikut dalam berpolitik, karena sometimes numbers do count to change the status quo. Tapi what kind of women? Saya merasa masih belum banyak female politicians di Indonesia yang benar-benar paham konteks gender, sehingga tidak terdapat banyak perubahan legislatif untuk mengatasi isu perempuan. Don’t forget, masih banyak perempuan Indonesia yang tanpa disadari ikut melanggengkan sistem patriarki yang justru they are victims of.
Saya pernah hadir di sebuah meeting di DPR untuk salah satu komisinya, dan saat saya melihat anggota DPR perempuan di sana, saya kecewa banget. Banyak yang datang telat, banyak yang duduk ngobrol-ngobrol saat presentasi sedang berlangsung, adapun yang selfie bareng. Makanya, untuk saya, bukan soal jumlah female politicians tapi the quality. Ya kita lihat saja caleg-caleg perempuan yang banyaknya hanya jual tampang, even my own peers from the entertainment industry. I don’t have faith in them to make any significant change for us women. Ke manakah female politicians 5 tahun terakhir ini, saat RUU PKS yang jelas-jelas akan bantu korban kekerasan (yang mayoritasnya memang perempuan) tidak di sah-sahkan. Saya paham bahwa female politicians shouldn’t have to use their femaleness to push pro-female agendas forward, tapi jelas-jelas male politicians won’t do it, so I do peg high hopes on female politicians to represent our worries and fight for us.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika. Menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Menariknya, ada beberapa data yang menunjukkan bahwa justru di Indonesia, sering terjadi perempuan dibayar lebih dari lelaki. Ini sesuatu yang sangat menarik kalau kita bandingkan dengan global comparison. Tapi, sesuatu yang jelas, di Indonesia, sangat minim perempuan dengan jabatan yang tinggi, sehingga tidak terdapat banyak perempuan di posisi decision-making. Karena budaya “guilt trip” dari masyarakat jika seorang perempuan bekerja, dan tuduhan dia bukan seorang ibu atau istri yang baik karena bekerja, pastinya banyak perempuan yang merasa kewalahan. That guilt trip makes it easy for women to quit and “jadi ibu rumah tangga aja”. Tapi bayangkan bos mereka seorang perempuan, yang juga paham isu-isu itu, yang bisa implement company policy yang friendly terhadap working mothers, pasti lebih banyak perempuan yang akan stay in work karena work-life balance tersebut jadinya lebih diakomodir oleh perusahaan. Kita butuh lebih banyak perempuan dalam posisi yang tinggi karena pasti benefits-nya akan trickle down ke karyawan perempuannya. Tapi pada umumnya kita butuh lebih banyak orang dalam masyarakat yang encourage and give credit to women in work, instead of guilt tripping them into staying at home.
Foto: Melani Budianta
Prof. Melani Budianta, Ph.D Akademikus & Intelektual Publik
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Situasi akan berbeda untuk setiap perempuan, tergantung lingkungan dan keluarganya, tetapi secara umum tekanan sosial terhadap perempuan tetap sama. Di saat konservatisme agama meningkat, tekanan berbasis dogma terhadap perempuan akan semakin kuat.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Pertanyaan no. 2 dan 3 sama karena inti feminisme adalah mencapai kesetaraan dan keadilan sosial. Itu ada dalam UUD dan Pancasila, jadi penting untuk setiap bangsa tanpa perlu menyebut kata feminism.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Kata “feminisme” dianggap berbau kebarat-baratan, tetapi inti perjuangan feminisme, yakni kesetaraan dan keadilan itu sudah ada di tataran lokal bahkan sebelum kata itu marak diperkenalkan. Kongres Perempuan pertama (22 Desember 1928) sudah membicarakan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, dan posisi perempuan dalam pernikahan.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Representasi perempuan dalam politik harus terus diperjuangkan, bukan hanya dalam jumlah. Kualitas perlu ditingkatkan dengan berbagai kegiatan penyadaran akan hak politik setiap warga di tingkat akar rumput, termasuk para pamong praja, serta perluasan akses berbagai pendidikan politik. Harus ada kesadaran di setiap kampung atau kelurahan; perempuan maju menjadi ukuran keberhasilan daerahnya.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Sudah ada peningkatan walau masih ada fenomena ‘langit-langit kaca’ (posisi tertinggi umumnya untuk laki-laki), dan pembedaan upah. Untuk itu perlu regulasi dan insentif juga buat korporasi agar tidak mendiskriminasi upah berbasis jenis kelamin dan memberdayakan pekerja perempuan dan pekerja difabel.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Yang penting dalam keluarga bukan bertukar tetapi berbagi peran dan beban tugas rumah tangga. Perlu terus disosialisasikan bahwa Ayah yang mengasuh anak itu ok dan pasangan yang masak dan membersihkan perabot bersama itu keren dan gaul. Yang kedua diperlukan penyadaran bahwa tiap individu, baik laki-laki maupun perempuan punya talenta unik dan berbeda yang harus dihargai. Jika seorang laki-laki lebih suka dan memilih bekerja di rumah sambil mengasuh anak, itu sah dan bagus, demikian pula jika perempuan lebih berkembang dalam karir publiknya. Ini hak bukan saja untuk perempuan. Ini prinsip keadilan.
Foto: Mouly Surya
Mouly Surya Sutradara & Produser
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Saya rasa tekanan dan ekspektasi sosial itu selalu ada dan tidak pernah hilang. Sama sekali belum berubah, meskipun sekarang sudah ada sosok-sosok dan komunitas-komunitas yang melakukan gebrakan. Tetapi merubah pola pikir society secara luas jelas bukan hal mudah apalagi sudah dibentengi dengan keyakinan-keyakinan mengenai “kodrat”. How I hate that word.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Sangat penting. Ini bukan saja soal budaya. Ini persoalan hak asasi manusia. Paling mendesak menurut saya justru ke internal pribadi perempuan-perempuan Indonesia itu sendiri. Harus berawal dari pribadi yang memang percaya dirinya bisa mandiri, baik secara finansial maupun pribadi.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Itu jelas salah paham dengan apa itu feminisme. Hak asasi manusia untuk hidup, mendapatkan kesetaraan, memang kebarat-baratan?
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Sangat tidak setara. Amerika itu ketinggalan dari Eropa soal ini. Apalagi Indonesia. We are decades behind! Tidak usah tempat pekerjaan, kesempatan pendidikan di keluarga saja seringkali mengutamakan anak laki-laki daripada perempuan. Dan akhirnya bermula dari titik itu; ketika anak perempuan itu beranjak dewasa ia tidak dibekali rasa tanggung jawab dan rasa percaya diri yang setara.
Kita sebagai wanita Indonesia tidak bisa menunggu hal-hal ini diberikan kepada kita. Kita harus fight for it.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Kenapa tidak? Ini bukan siapa pencari nafkah lalu ia pegang kuasa. Saya selalu melihat peran ibu dan ayah dalam rumah tangga itu sebagai sebuah partnership.
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Buat saya, kata kuncinya pendidikan. Di masa lalu pendidikan belum terjangkau semua kalangan, faktor budaya yang male-dominated, serta tekanan ekonomi dan sosial yang begitu berat, banyak ekspektasi yang tidak realistis kepada perempuan. Sekarang, perempuan sudah memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus mengorbankan peran biologisnya.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Sulit untuk menjawab karena banyak ragam dari gerakan feminisme. Buat saya perjuangan untuk kesetaraan gender adalah mutlak. Namun harus dilakukan dengan cara-cara yang santun dan tidak malah merendahkan harga diri dan identitas perempuan Indonesia.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Mungkin saja ada miskonsepsi yang mengatakan kebarat-baratan. Sejatinya, feminisme berawal dari ketidakadilan gender, dan itu terjadi tidak hanya di barat tapi di seluruh dunia, hanya kebetulan berkembang pertama kali di barat. Pola perjuangannya sangat kontekstual, bisa jadi gaya perjuangan yang kebarat-baratan tidak pas buat konteks keIndonesiaan kita.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Saya tidak terlalu mengikuti representasi wanita dalam politik, namun saya lihat di berbagai forum, perempuan sudah mendapatkan kesempatan sama dengan pria. Mungkin sudah bukan permasalahan representasi dari kuantitas tapi bagaimana peningkatan kualitas perempuan di segala bidang.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Saya tidak tahu persis secara umum di Indonesia, tapi dari pengalaman profesi saya sebagai musisi, tidak dirasakan adanya ketidakadilan upah maupun peluang.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Saya belum berumah tangga jadi belum bisa membayangkan. Mungkin ada beberapa peran yang bisa bertukar, mengurus rumah tangga menurut saya juga bekerja dan tanggung jawab suami-istri, jadi tidak ada salahnya bisa bergantian. Soal nafkah adalah soal rejeki, buat saya yang penting bekerja dan tidak menganggur atau bermalas-malasan.
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
There is certainly more spaces for women to exist in recent years, and a lot of it we owe to the women that come before us who have fought, resisted, and carved out a place for us. However, we also need to recognise that the freedom that some of us may experience, may still be out of reach for others. There are women who can receive education, who can have careers, who has their own choices, and there are women who still struggle with these basic rights. It is difficult to truly call it “freedom” when these rights are only granted to a few. The responsibility that we have now is how to expand our space, offer a hand to those who are in need, and redefine what freedom means.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Space for women is one of the most important issues that we have to focus on. For the literary industry, the past has been filled with the names of men, while women (who read, wrote, edited, translated, published, and worked in the industry) were forgotten. It is important to listen to the voices of women – from the past and the present – in order to understand humanity itself.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
It depends on which theories and praxis that we’re discussing – feminism have different strands, layers, methods, but I’m of the belief that in order for progress to happen, we must be aware of the landscape that we are working with. A language that works in one space, may not work in others. First, we have to ask, who are we speaking to?
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
There are a lot of women now in our national politics, perhaps more than there ever were in our history. Some has created great strides in becoming a figurehead in public security, economic expansion, and bridging cultural shifts. I don’t think there can ever be an “enough” amount of women in spaces, especially public sectors where they have the most power to create impact. I would love to see even more programs for educational services for women, such as scholarships, skill training, and assistance in the workforce.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Within the literary industry, we are seeing the emergence of women writers – both established and emerging, who are gaining position, influence, opportunities, and equal pay with their male counterparts. However, socially, the landscape have been embedded with exclusively male voices for generations, something that is slowly disappearing, but still very much exists. It is much harder to be a woman writer because with everything we say, we do, and we create, we always have to be more careful than our male peers.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Ever since I was a child, I have been around people from the creative industry who does not live a traditional lifestyle, so this idea or practice is not new for me. I think such arrangements is neither strange or an issue, as long as the people involved in it is happy with it.
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Selama masih ada pemberian nama terhadap anak perempuan berupa nama bunga karena ada ekspektasi supaya anak perempuan tersebut cantik seperti bunga, ekspektasi akan wanita dulu dan sekarang masih sama saja. Sedihnya hal itu malah diperuncing oleh sesama perempuan yang saling membandingkan satu sama lain. Padahal penting bagi sesama perempuan untuk saling mengapresiasi.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Sangat penting sampai pada titik setiap orang bisa dan harus menjadi feminis. Menjadi feminis bukanlah untuk mendominasi gender lain, tapi lebih kepada bagaimana perempuan mendapatkan akses penuh terhadap haknya. Dan hal ini perlu ditanamkan pada budaya Indonesia yang menurut saya banyak didominasi oleh patriarki. Sehingga pemahaman feminisme perlu ditanamkan untuk melawan praktik praktik patriarki.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Ini yang saya maksud di atas. Banyak pemahaman akan feminisme itu salah. Padahal seperti yang saya bilang di atas, feminisme itu diperlukan supaya perempuan mengerti dan bisa mendapatkan akses full kepada hak-haknya seperti hak untuk hidup tanpa kekerasan dan pelecehan seksual, perbudakan, diskriminasi, hak untuk memilih, hak untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan reproduksi seksual, dll.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Saya harap jumlah wanita yang duduk dalam penyelenggaraan negara dan bersuara untuk perempuan lebih banyak. Kalaupun jumlahnya tidak banyak, saya harap siapapun itu mau bersuara untuk memberdayakan perempuan lain.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Belum semuanya. Masih ada praktik-praktik dalam tempat kerja yang tidak menempatkan perempuan pada posisi primary atau dipromosikan karena dia perempuan dan dilihat tidak mampu menduduki posisi penting itu.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Tidak ada yang salah dari hal itu. Selama tidak ada paksaan, hal itu sah sah saja.
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Kalau di era Orde Baru itu, kita bicara soal peran ganda sebagai ekspektasi. Era Orde Baru lekat dengan developmentalism, kata bendanya pembangunan. Jadi perempuan diharapkan berpartisipasi dalam pembangunan dan gagasan modernitas Orde Baru. Jadi, ada semacam glamorisasi perempuan yang bekerja, misalnya bekerja di kantor. Tapi pada saat yang sama perempuan juga tidak boleh lupa tentang kodratnya sebagai istri dan ibu. Setelah Orde Baru jatuh, jadi semakin terlihat ya perlawanan dari; misalnya organisasi-organisasi perempuan atau intelektual perempuan yang mengkritik ini.
Setelah masa itu saya merasa melihat banyak perlawanan, banyak perempuan-perempuan yang inspiratif. Tapi saya rasa sekarang ya, tahun 2019 itu kita hidup dalam ambivalensi. Jadi di satu sisi ada perempuan-perempuan seperti Sri Mulyani yang S3 dan karirnya sangat cemerlang. Kemudian ada Ibu Susi Pudjiastuti, seorang menteri yang sangat tegas. Lalu kita melihat orang-orang ini sebagai role model, tapi pada saat yang sama masyarakat (mainstream) juga semakin konservatif. Jadi ada semacam gerakan yang justru menciptakan ekspektasi-ekspektasi yang sangat mengekang perempuan – contohnya seperti tren hijrah. Perempuan-perempuan muslim diharapkan untuk lebih fokus mencari imam saja. Kemudian juga ada semacam ketakutan pada perempuan-perempuan yang berpendidikan tinggi. Mungkin kita kan banyak yang hidup di dalam bubble masing-masing.
Kalau dari keluarga saya, saya termasuk privilege dalam arti ayah dan kakek saya mendorong (untuk) financial independence, bahwa perempuan itu harus mandiri secara finansial. Tapi itu kan sangat tergantung dengan lingkungan masing-masing dan ada orang-orang yang dalam bubble-nya “nggak kok, gue baik-baik aja”. Sebenarnya gerakan ini semakin melebar dan melebar, kelas menengah muslim yang konservatif kemudian hijrahnya juga mengenal ajaran Islam itu juga baru. Kemudian ya mereka ikut menyebarkan ekspektasi-ekspektasi macam ini yang justru kalau saya melihat lebih parah dari era Orde Baru. Kalau dulu kita dikungkung oleh kodrat ibu dan istri itu, ya sekarang sudah bukan peran ganda lagi. Sekarang perempuan ya sudah puas saja menjadi ibu rumah tangga karena itu jalan ke surga. Jadi sepertinya tantangan kita semakin besar.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Sangat penting karena yang kita butuhkan itu adalah ranah seni dan budaya yang punya perspektif feminis. Tanpa perspektif feminis, kita hanya akan melihat produk-produk budaya yang justru melecehkan perempuan atau menganggap bahwa katakanlah, perkosaan itu sesuatu yang normal.
Baru-baru ini kan ada satu film populer ya yang bikin heboh, film itu berdasarkan buku, “Antologi Rasa”. Dan di situ si perempuannya mabuk kemudian si laki-lakinya bercinta dengan perempuan ini, dan besoknya perempuannya marah tapi kemarahan itu tuh tidak dianggap serius. Film ini malah menormalisasikan, dan akhirnya tidak ada semacam hukuman ataupun sanksi untuk si laki-laki ini. Padahal ini kasus perkosaan karena tidak ada consent di situ. Anak-anak muda sudah banyak yang mengkritik film ini, tapi pada saat yang sama yang mendukung dan/atau yang protes karena film ini dikritik itu banyak sekali. Dan ini mainstream popular culture yang lebih banyak ditonton oleh masyarakat kita. Jadi tanpa perspektif feminis ya yang kita konsumsi adalah film atau musik yang menyudutkan perempuan.
Kalau dari sastra misalnya, walaupun ada beberapa penulis perempuan yang menonjol atau dianggap perlu terus dibicarakan, secara umum tidak berlaku untuk penulis perempuan lainnya. Yang membuat keputusan pasti laki-laki. Banyak sekali all male panels setiap penjurian sastra atau diskusi-diskusi sastra. Narasumbernya semua laki-laki, atau perlombaan misalnya. Terus, ini kan jadi kita bertanya-tanya sebenarnya mereka paham tidak sih pentingnya suara perempuan. Nah di sini banyak banget contoh di dalam ranah seni dan budaya yang menunjukan bahwa perspektif feminis itu masih harus terus kita dorong. Jadi dia (perspektif feminis) penting kan, tapi kita belum melihat bahwa dia diterima di banyak segi, jadi masih harus terus diperjuangkan.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Sebetulnya sejak dulu ya bahwa feminisme itu berasal dari barat itu selalu menjadi alat legitimasi, menurut saya dijadikan alat untuk mempertahankan status quo dan menolak pemikiran-pemikiran feminis. Kalau saya, pertama kali saya muncul di ranah seni dan budaya di Indonesia, saya melihat adanya kecurigaan terhadap kelompok-kelompok feminis. Mereka diberi label perempuan yang hobi marah-marah, sepertinya sampai sekarang juga. Walaupun sudah lebih banyak anak-anak muda yang mempopulerkan feminisme, secara umum masih ada kan stigma itu. Kalau ke-barat-baratan sebenarnya yang diperjuangkan oleh organisasi perempuan dari tahun 20-an, kemudian Gerwani di tahun 60-an, itu kan perjuangan feminis. Gerwani dulu menolak poligami, mengkritik praktik poligaminya Soekarno, kemudian juga menuntut upah yang sama. Jadi kalau misalnya dibilang ke-barat-baratan, praktik yang dilakukan katakanlah dari awal abad ke-20 itu sudah menunjukan bahwa perempuan Indonesia tuh berjuang dan mereka feminis, terlepas dari istilah yang mereka gunakan.
Kalau zaman dulu kan istilahnya, ‘perkumpulan istri’ misalnya kalau tahun 20-an. Ya mau namanya perkumpulan istri, kalau misalnya yang diperjuangkan itu adalah kesetaraan hak, yaitu perjuangan feminis. Atau si kaum ibu. Itu sebenarnya mereka menggunakan istilah yang dianggap bisa diterima di masyarakat. Ya tapi perjuangannya sih sebenarnya perjuangan feminis. Jadi menurut saya itu cuma alasan pihak-pihak yang merasa terganggu dengan perjuangan feminis karena feminisme itu kan menggugat dan mempertanyakan apa-apa yang nyaman atau menguntungkan sebagian pihak. Kalau mereka merasa bahwa mereka selama ini diuntungkan oleh sistem patriarki, ya jelas saja mereka tidak senang ada kelompok feminis dan mereka kasih label ke-barat-baratan dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Ini juga ranah yang masih butuh perjuangan keras sih soalnya yang saya lihat orang-orang seperti Ibu Sri Mulyani dan Ibu Susi Pudjiastuti ya, itu mereka lebih seperti tokoh-tokoh perempuan yang eksepsional. Jadi ini sebetulnya masalah kalau misalnya kita mengangkat sedikit perempuan elite dan eksepsional, sementara sebagian besar perempuan nasibnya ya tidak berubah. Ada juga yang saya perhatikan banyak perempuan-perempuan yang misalnya masuk ke DPR itu tidak memperjuangkan kepentingan perempuan maupun minoritas. Padahal seharusnya kalau perempuan yang punya perspektif feminis, dia juga punya daya nalar kritis terhadap undang-undang yang cenderung mengkriminalisasi warga karena feminis sebetulnya kan itu soal cara berpikir yang sangat sadar pada relasi kuasa kan. Nah, di undang-undang seperti UU ITE, UU Pornografi, dan yang baru-baru ini RUU Permusikan itu kan masih sama semangatnya kriminalisasi warga. Jadi sebenarnya perempuan kalau dia feminis, dia harus punya kecermatan untuk mengkritisi undang-undang seperti ini. Nah, yang saya lihat sih justru kadang-kadang perempuan itu ikut berpartisipasi menghasilkan produk-produk hukum yang seperti ini. Jadi saran yang ingin disampaikan ya mungkin bukan saran juga ya, tapi harapan.
Harapan saya sih lebih banyak perempuan yang punya perspektif feminis di dalam politik praktis. Bukan hanya sekadar perempuan, tapi perempuan yang mau membela kepentingan perempuan, kelompok minoritas; minoritas dari segi gender, etnis, agama. Ya sampai sekarang kan isu LGBT masih sensitif juga. Orang takut kehilangan kuasa kalau misalnya mereka secara terbuka mendukung isu LGBT. Ya kita lihat saja misalnya partai yang baru ini ya, PSI yang dianggap dan mengklaim dirinya sebagai partai yang progresif. Itu kan sangat hati-hati dengan isu LGBT. Jadi ya idealnya di situ adalah perempuan-perempuan yang punya perspektif feminis. Nah sayangnya, kita masih harus terus perjuangkan – bukan berarti tidak ada yah. Karena menurut saya sih misalnya seperti Ibu Susi menurut saya punya perspektif feminis, ada satu occasion yang dia seperti mengkritik seorang pejabat publik laki-laki yang membicarakan ahli laki-laki semua, jadi dia aware soal keterwakilan perempuan.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Saya bukan ahli soal gender pay gap ya. Tapi yang saya tahu itu misalnya berdasarkan data tahun 2016 soal gender gap index, Indonesia itu ranking 88 dari 144 negara. Jadi ya masih banyak yang harus diperbaiki. Tapi dia cenderung lebih baik dari banyak negara, misalnya Vietnam dan Tiongkok. Kemudian gapnya itu juga cenderung lebih sempit. Saya juga pernah membaca artikel bahwa banyak perempuan sebetulnya pada posisi-posisi tertentu yang dibayar lebih daripada laki-laki. Tapi sebenarnya kan isunya bukan hanya di seberapa banyak dia dibayar, tapi lebih ke pertanyaan soal seberapa banyak perempuan hadir sebagai decision makers dalam organisasi.
Nah ini belum setara juga karena kadang-kadang perempuan itu opini-opininya dianggap lebih inferior dibanding laki-laki. Kemudian juga banyak sekali tantangan-tantangan yang sebenarnya lebih beyond the area of gender pay gap, misalnya soal authority. Otoritas kepemimpinan perempuan itu sering banget dipertanyakan. Itu satu. Kemudian ada juga hal lain misalnya keamanan di tempat kerja. Jadi soal bagaimana perempuan bisa merasa aman, bebas dari objektifikasi atau sexual advances yang tidak diinginkan. Kemudian juga kalau dia misalnya di dalam lingkungan kerja itu banyak subtle harassment, misalnya disebut “cantik deh, pasti bisa dapat klien”, seperti semacam itu. Dan itu dari yang seperti itu sampai yang kalau mau karirnya meningkat harus tidur sama si ini, si ini, tokoh-tokoh top leader yang semuanya laki-laki.
Nah, yang seperti itu kan makin memperumit saja tuh posisi perempuan di dunia kerja. Dan kita banyak bidang yang tidak punya code of ethics, misalnya kalau saya perhatikan – yang menjadi fokus saya memang bidang seni dan budaya – itu kan tidak ada code of ethics-nya, bagaimana di dalam suatu komunitas seni, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Makanya kita ada kasus pemerkosaan terhadap mahasiswi yang dilakukan oleh budayawan terkenal, yang dia memanfaatkan posisinya sebagai kurator di sebuah organisasi terkenal dan sebagai budayawan untuk bikin sexual advances ini dan untuk mendapatkan gratifikasi seksual. Ini kan belum ada regulasinya di dunia kerja, jadi lebih kompleks dari isu gender pay gap dan lebih bikin frustasi sebenarnya.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Ya saya melihatnya banyak ya di keluarga-keluarga yang kontemporer. Ini berat banget sih menurut saya dan benar-benar tergantung pada komunikasi si pasangan ini, kemudian juga lingkungan keluarga, dan lingkungan sosial. Karena konstruksi maskulinitas di masyarakat kita tuh cenderung destruktif. Kalau misalnya laki-laki menjadi stay-at-home dad, walaupun si istrinya atau si suaminya oke-oke saja, tiba-tiba ada tekanan dari keluarga, “kenapa suaminya tidak kerja, di mana harga diri sebagai laki-laki” seperti itulah. Kemudian lingkungan sosial juga. Laki-laki yang stay-at-home itu juga cenderung dianggap feminin kan, dianggap lemah.
Kalau yang saya lihat di sekitar saya saja itu banyak kasus yang baik-baik saja karena komunikasi antar pasangannya baik. Tapi ada juga beberapa kasus yang saya lihat, karena transaksi ini cenderung berdua saja, sementara yang menjadi forces, yang menjadi daya tekan dari keputusan-keputusan personal itu kan justru dari keluarga, dari teman-teman. Nah ini efeknya ke si laki-laki itu bisa dia jadi sangat depresif. Atau yang lebih buruk dia tuh mencoba membuktikan maskulinitasnya dengan mengontrol istrinya. Misalnya dia tidak ingin istrinya lebih dari yang seharusnya bisa dicapai. Malah bisa jadi abusive juga. Semuanya tidak enak ya. Kalau yang depresif, kemudian jadi isu kesehatan mental juga tidak enak juga.
Jadi kalau yang saya lihat, karena tidak ada dukungan atau keluarga, lingkungan sosial yang mendukung stay-at-home dad ini cenderung sedikit, cenderung cukup terbatas. Di bubbles tertentu, banyak laki-laki yang jadi korban sistem patriarki ini dan efeknya bisa macam-macam seperti yang sudah saya sebutkan tadi. Jadi, buat saya sih karena masih ada stigma yang melekat pada stay-at-home dad, itu tidak bisa hanya pasangan itu ‘you and I against the world‘, tapi harus didukung oleh lingkungan sosialnya.
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Sulit untuk menjawab pertanyaan ini karena sulit rasanya untuk mengeneralisasi pengalaman perempuan yang sangat beragam. Mungkin jawabannya ya dan tidak. Buat saya pribadi, ekspektasi sosial memang tetap ada. Namun karena faktor latar belakang sosio-ekonomi saya yang mungkin berbeda dengan perempuan lain (bisa dibilang jadi sebuah bubble tersendiri), ekspektasi itu tidak terlalu memaksa atau menekan pilihan hidup saya.
Singkatnya, dengan segala privilege yang saya miliki hari ini – baik ekonomi maupun sosial, saya memiliki ruang gerak cukup luas untuk menentukan hal-hal yang memberi arti dalam hidup saya. Tentunya masih banyak perempuan yang tertindas dari berbagai aspek, karena kesenjangan struktural, tekanan dari masyarakat, keluarga, maupun pasangannya. Namun hal berbeda yang saya amati belakangan ini adalah solidaritas antar-perempuan yang perlahan mengemuka dan menguat dalam melawan ragam penindasan yang dialami perempuan selama ini. Saya rasa ini hal yang patut kita rayakan dan terus dukung.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Penting. Kesenjangan struktural dan mentalitas untuk menindas satu golongan, terutama perempuan, masih kental terasa di masyarakat kita. Seringkali kedua hal tersebut dinormalkan menjadi sesuatu yang lumrah. Feminisme, dengan ragam turunannya, hadir untuk memberi suara dan cara pandang alternatif untuk mengakhiri penindasan ini. Sebenarnya, ketika membicara penindasan, saya selalu terngiang pemikiran Paulo Freire tentang the vicious cycle of oppression. Kebebasan atau keadilan hanya tercapai apabila yang menindas berhenti menindas, dan ketika yang tertindas bisa membebaskan yang menindas dari siklus penindasan itu sendiri.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Mungkin ini karena ketidaktahuan masyarakat tentang pengetahuan-pengetahuan alternatif seperti feminisme ya sehingga pemahaman tentang isu feminisme atau gender sangat terbatas. Namun untuk hal ini, saya juga sepakat dengan sosiolog Raewynn Connel bahwa mungkin salah satu penyebabnya adalah dominasi teori gender dan feminisme dari Barat di Academia yang memang terlalu besar sehingga pengetahuan dan pengalaman gender dari “negara-negara Selatan” tidak mendapatkan panggung yang setara. Namun, sebenarnya, definisi gender yang progresif, relasi gender yang fluid, aktivisme gerakan perempuan, perlawanan terhadap penindasan terhadap perempuan bukan hal yang baru di Indonesia.
Melihat isu feminisme dari kacamata Indonesia juga rasanya tidak bisa lepas dari isu kelas, ras, dan lingkungan – isu gender adalah isu kompleks yang interseksional. Mungkin sudah saatnya kita membuka cakrawala kita terhadap sejarah dan kebudayaan Indonesia agar bisa lebih memahami isu-isu yang dihadapi oleh kaum minoritas gender dan perempuan.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Kurang puas, karena masih sedikit perempuan dan juga laki-laki yang membawa agenda feminis di dalam perjuangannya. Representasi perempuan dalam politik bisa juga tetap melanggengkan patriarki dan penindasan terhadap perempuan, laki-laki, dan minoritas lainnya apabila cara pandanganya masih seperti itu.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Lagi-lagi sulit untuk menjawab pertanyaan ini untuk mewakili pengalaman perempuan yang beragam. Buat saya pribadi, di lingkungan dan disiplin ilmu yang saya dalami, kesetaraan dalam tempat kerja sudah cukup baik, terutama perihal kesempatan yang setara. Tapi lagi-lagi saya berbicara dari pengalaman di bubble saya, kerja di kota besar, di lingkungan yang progresif dan terbuka. Akan berbeda dengan pengalaman perempuan lain dengan konteks yang berbeda.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Saya melihat hal itu sebagai sesuatu yang normal-normal saja. Apabila sudah didiskusikan secara matang, pertukaran peran dalam kehidupan berumah tangga rasanya biasa saja. Dalam berumah-tangga sebenarnya sudah pasti banyak kompromi yang dilakukan untuk masing-masing pasangan agar bisa mendapat ruang dan kesempatannya untuk berkembang. Di dalam penyesuaian rencana hidup itu, terkadang bertukar peran menjadi salah satu cara untuk saling mendukung mimpi. Di rumah saya, justru Ben yang lebih banyak memasak dan bekerja dari rumah (menulis dan mempersiapkan bahan ajar), sedang saya memang lebih sering keluar untuk bekerja, manggung, dll. Cara pandang kami terhadap peran gender cukup fleksibel, karena kami merasa maskulinitas tidak melulu didefinisikan oleh peran-peran macho dan kerja kasar, dan begitupun dengan femininitas dengan kerja di dapur atau mengurus rumah tangga atau anak sendiri. Kami merasa, kedua elemen tersebut sebenarnya hadir di dalam setiap manusia dan terus berdinamika dalam mengarungi kehidupan.
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Jelas sudah jauh lebih baik. Data selengkapnya terekam dalam GDI (Gender Development Index) dunia. Kalau secara awam saja kita lihat terpampang nyata hak politik bagi perempuan sudah setara dengan laki-laki, berbeda dengan zaman di mana perempuan tidak punya suffrage (hak memilih dan dipilih dalam Pemilu). Di Indonesia, ada beberapa kasus yang saya rasa penting untuk disoroti. Yang pertama, pengakuan perempuan sebagai subjek hukum yang mandiri. Sampai tahun 1960-an, perempuan yang sudah menikah perlu izin suami untuk bikin paspor, atau membuat perjanjian hukum seperti perjanjian kredit atau jual-beli aset, dan lain sebagainya. Selain itu, soal anak di luar nikah, sebelumnya hanya memiliki hubungan perdata dengan pihak keluarga ibu. Artinya, seluruh pertanggungjawaban finansial dan materiil lainnya dalam membesarkan anak hanya dibebankan pada pihak ibu secara hukum.
Sejak putusan MK Tahun 2012, pembuktian hubungan ayah biologis dengan uji DNA dapat dipakai sebagai dasar hubungan perdata anak dengan ayah, bukan hanya ibunya. Jadi, pertanggungjawaban atas anak ditanggung ibu dan ayah. Kemudian juga perubahan dari sisi budaya, misalnya penempatan perempuan dalam perkawinan bukan lagi sebagai objek transaksional ekonomi-politik antara ayahnya dengan keluarga suaminya, melainkan betul-betul sebagai keputusan otonomnya atas hidupnya untuk memilih membangun rumah tangga dengan orang yang ia cintai dan ia yakini akan membahagiakannya. Masih banyak pencapaian lainnya yang pantas kita rayakan bersama sebagai sebuah bangsa dan sebagai bagian dari peradaban dunia. Sekarang tinggal bagaimana pengalaman kesetaraan bisa dinikmati oleh lebih banyak perempuan di tempat-tempat yang mungkin belum terjamah teknologi atau informasi pengetahuan modern, dan yang terhalang oleh berbagai hambatan lainnya.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Tergantung sih ya, gerakan feminisme yang mana. Saya pribadi memperjuangkan kerangka pikir ilmiah dan rasional dengan semangat moral yang pro kebebasan dan kesetaraan, terserah mau dinamakan apa. Dan ini menurut saya sangat penting, karena sains dan nalar memberikan kita peta realita yang akurat untuk mencari solusi yang tepat untuk permasalahan yang ada, sedangkan kebebasan yang berlaku setara bagi semua orang menjadi prakondisi yang harus terpenuhi dalam rangka membangun masyarakat yang bernalar dan secara kreatif melakukan kerja-kerja saintifik; mencari formula yang menjelaskan bagaimana dunia bekerja. Tanpa kebebasan, kita tidak akan bisa melatih kreativitas dan kapasitas berpikir kita. Makanya semua itu menjadi penting.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Dari dulu saya sudah lelah ya dengar pendapat seperti ini. Untuk feminisme, untuk HAM, untuk demokrasi, dan lain sebagainya. Coba dipikirkan ya, Barat itu beberapa ratus tahun lalu percaya perbudakan, orang-orang disuruh kerja tanpa upah, bahkan orang-orang kita dijajah dan dijadikan budak mereka. Lalu, mereka berubah. Esensi dari budaya adalah berubah seiring dengan pengetahuan yang semakin maju dan berkembang. Kalau budaya kita adalah suka keroyokan dan main hakim sendiri, apa mau dilestarikan terus? Barat saja berubah. Buat saya, budaya kebebasan dan kesetaraan itu ya budaya universal. Yang jelas secara rasional dapat kita nilai sebagai budaya yang lebih baik. Kalau bukan begitu, jadi apa budaya kita? Anti kebebasan? Pro penjajahan? Pro menempatkan perempuan dalam derajat yang lebih rendah dari laki-laki? Kan bodoh sekali pandangan seperti ini.
HAM juga begitu. HAM menjadi hak hidup, hak berpendapat, dan lain sebagainya. Disebut bukan budaya kita, berarti budaya kita apa? Hobi membunuh? Tidak mengakui hak hidup orang? Budaya begitu kok mau dipertahankan? Betul-betul pandangan yang bodoh sekali, harusnya tidak ada lagi orang Indonesia yang berpikir sebodoh ini saat kita sudah 74 tahun merdeka dan 21 tahun berdemokrasi. Lihat alternatif nilai yang ada, pikirkan baik-baik, pilih yang beradab dan berkemajuan. Sesederhana itu.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Belum, karena masih kurang progresif, baik di isu perempuan sendiri maupun di isu pada umumnya. Tetapi ada beberapa sih yang menurut saya breakthrough ya, seperti bu Sri Mulyani dan bu Susi Pudjiastuti. Saya juga apresiasi sejumlah anggota DPR perempuan yang setidaknya bekerja dengan integritas dan pemikiran bermutu, seperti Rieke Diah Pitaloka, Eva Sundari, dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Tapi perlu ada suara progresif yang bisa mengimbangi suara perempuan konservatif seperti Fahira Idris.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Saya pribadi agak skeptis dengan konsep yang dipakai orang dalam menghitung kesenjangan upah gender. Karena saya sempat membaca sebuah model di suatu riset tentang ini di mana cara menganalisisnya adalah dengan mengakumulasi upah semua pekerja perempuan dibagi jumlah semua pekerja perempuan, lalu dibandingkan dengan akumulasi upah semua pekerja laki-laki yang juga dibagi dengan jumlah semua pekerja laki-laki.
Nah, model ini menurut saya tidak masuk akal. Harusnya kan dilihat juga aspek pekerjaannya itu sendiri; durasi, tingkat kesulitan, dan lain sebagainya yang mungkin bisa menjelaskan kesenjangan yang ada. Jadi, kesenjangan itu bukan muncul akibat perbedaan gender, melainkan perbedaan kuantitas atau kualitas pekerjaannya. Saya pribadi tidak mengalami diskriminasi upah gender dan saya rasa di banyak perusahaan lain juga tidak ada fenomena itu. Saya sempat baca data juga tentang cuti yang lebih banyak diambil perempuan dibanding laki-laki (misalnya untuk nyeri haid, hamil, dan persalinan), bahkan data di Amerika ada yang menyebutkan perempuan juga lebih sering cuti sakit dibanding laki-laki. Baca di sini.
Nah, ini soal equal pay. Idealnya equal pay for equal work. Jadi, dihitung saja secara objektif kuantitas dan kualitas kerja karyawan, terlepas dari gendernya, dan berikan upah berdasarkan data itu. Kemudian, soal equal opportunity, saya gak bisa kasih pendapat ya karena belum sempat membaca data atau riset spesifik tentang ini.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Bukan urusan saya sih. Saya melihatnya ya setiap individu punya kebebasan untuk bernegosiasi dalam rumah tangga mereka dan membuat kesepakatan mereka sendiri, entah itu urusan siapa yang akan mengurus domestic affair atau mau monogami atau poligami. Tetapi, sekali lagi, saya mendorong orang untuk mengadopsi paradigma saintifik dan rasional. Maka, saya berharap keputusan mereka sudah mereka pahami dampaknya, baik-buruknya, konsekuensinya, secara utuh, berdasarkan data-data yang ada.
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Kalau menurut saya banyak yang sebenarnya masih sama. Jadi dari dulu sampai sekarang sebenarnya belum banyak berubah, cuma cara-caranya saja, seperti bagaimana kita mesti berpakaian juga masih diatur. Dan maksudnya mungkin tidak seperti dulu sih cara mengaturnya, cuma sekarang seperti kita mau pakai apapun yang kita mau juga kita mesti memikirkan society lah, mesti memikirkan keluarga, ataupun keamanan kita. Misal kita mau pakai sesuatu tapi kita takut di-harrased di jalanan.
Yang saya tidak suka juga biasanya kalau di-harrased itu kalau misalnya kita sendirian. Kalau misalnya kita dengan pendamping, misalnya sama pacar, suami, kakak, atau ayah sama laki-laki, mereka tidak bakal harrased kita di jalan. Tapi kalau kita sendirian pasti di-harrased. Jadi maksudnya mereka menghargai pendamping kita, bukan kita sebagai perempuan. Jadi mereka lebih seperti “Oh, yaudah ada bapaknya, oh ada suaminya, ada pacarnya, jadi kita nggak ganggu.” Nah, tapi kalau perempuan ini jalan sendiri, pasti diganggu, disiulin, diapakan. Jadi maksud saya lebih menghargai ke pendamping kita, bukan wanita secara individual.
Untuk ekspektasi yang lain juga maksudnya toh kita sampai sekarang selalu ditanya, umurnya berapa kok belum menikah. Maksudnya masih sama saja, walaupun memang dulu mungkin usia menikahnya lebih muda, perempuan belasan juga sudah menikah. Cuma kalau sekarang mungkin memang umurnya beda, cuma perilakunya kurang lebih masih sama. Dan itu bolak-balik lagi tergantung dari lingkungan dan keluarga perempuan itu sendiri. Jelas kalau di keluarga saya tidak terjadi. Cuma maksudnya, saya selalu merasa saya beruntung.
Lalu untuk seperti ekspektasi pendidikan, pekerjaan, banyak juga kok teman-teman saya atau yang di lingkungan saya walaupun bukan teman dekat, kuliah ataupun kerja tapi ujung-ujungnya juga – begitu mereka memutuskan untuk berkeluarga, pasti seperti ada saja suaminya yang suruh mereka di rumah, lebih ke mengurus keluarga, mesti berhenti bekerja, atau lainnya. Jadi lebih patokannya seperti mesti menurut sama suami karena sudah menikah. Yang saya tidak mengerti, maksudnya waktu mereka (pasangan pertama kali) bertemu, situasi pertama perempuannya memang sudah bekerja atau bagaimana, kenapa sehabis itu pas menikah dijadikan hak milik terus harus menurut kepada suaminya? Itu yang saya tidak mengerti sih. Jadi menurut saya kurang lebih situasinya masih sama, tapi caranya berbeda.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Menurut saya penting sekali. Gerakan feminisme itu tidak dilakukan hanya oleh perempuan menurut saya, malah penting sekali oleh laki-laki. Seperti maksudnya, siapa sih manusia yang lahir di dunia ini bukan dari rahim seorang ibu. Jadi maksudnya saya juga masih tidak mengerti mengapa mereka tuh bisa memposisikan perempuan di nomor dua. Sedangkan tidak mungkin ada orang yang lahir di dunia ini tanpa seorang perempuan. Bukannya kita mau sok feminis atau apa, tapi menurut saya lebih ke kemanusiaan ya. Kita sama-sama manusia, kenapa harus dibedakan?
Jadi pandangan saya soal feminis bukan memperjuangkan hak wanita atau gimana, tapi memang karena kita sama-sama manusia, karena kita sama-sama makhluk hidup ya kita ayo bersama memperjuangkan hak yang sama. Bukannya sok feminis lalu pekerjaan perempuan, perempuan, perempuan, dan perempuan, tapi lebih ke kebersamaan dan kemanusiaan. Kalau laki-laki bisa, ya perempuan juga bisa dong.
Sebetulnya Indonesia tuh kalau dirasa, dilihat sistemnya, menurut saya Indonesia itu sangat feminis dari konsepnya. Bolak-balik apa sih Indonesia kalau bukan ibu pertiwi, maksudnya dari judul tersebut saja Indonesia itu sudah super feminis, Indonesia kaya akan mother earth-nya kan. Kita di-supply dengan sangat kaya oleh alam, oleh ibu pertiwi. Itu kan perlambangan, filosofi dari tanah kita sendiri. Tapi pada terapinya kenapa kita tidak bisa seperti itu? Ke ibu kita, ke perempuan Indonesia. Padahal dari konsepnya Indonesia super feminis, makanya kenapa prakteknya kok lari sekali. Karena menurut saya mungkin juga cara pengajaran, atau cara yang diterapkan di keluarga banyak tuh yang tidak diresapi, jadi cuma “kenapa harus gini, kenapa harus gini. Ya sudah, ikuti saja karena memang begitu.” Tapi tidak diresapi ke dalam sebagai ideologi, sebagai filosofi, sebagai cara hidup, jadi cuma sekadar teori mengambang saja. Dan saya sepertinya juga merasa di dalam keluarga itu komunikasi antara orang tua dan anak itu kurang baik. Jadi anak itu sepertinya diajarkan untuk berbohong, buat menutupi siapa diri mereka sebenarnya karena takut tidak boleh kan.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Menurut saya tidak kebarat-an sama sekali karena juga di barat dulu juga situasinya tidak jauh berbeda dengan sekarang, masalah ekspektasi perempuan mesti nikah umur berapa, perempuan harus di dapur saja, perempuan mesti pakai korset, mesti pakai baju seperti ini, maksudnya itu barat sekali deh peraturan-peraturan bajunya dan lain-lain. Dan masalah seperti siapa mesti nikah sama siapa, putrinya siapa harus menikah dengan rajanya siapa, maksudnya itu barat sekali.
Yang paling terkenal saja deh, Marie Antoinette. Itu kan juga dijodohin apa segala macam. Jadi menurut saya itu tidak barat sama sekali, itu super universal. Perempuan manapun posisinya di dunia pasti mengalami hal yang sama. Jadi maksudnya, sama sekali tidak barat karena toh itu di barat kejadian sekali. Apa yang terjadi di sini, di barat juga terjadi. Perempuan memang pada dasarnya sebagai individu, kita mesti memperjuangkan hak kita, jadi bukan – balik lagi bukan perempuan. Setiap makhluk hidup menurut saya harus memperjuangkan haknya dan menjalankan kewajibannya supaya dunia ini berjalan dengan baik rotasinya dan keseimbangannya. Jadi supaya lingkungan di antara kita juga sehat. Kalau setiap individunya sehat dan bahagia, otomatis lingkungannya juga semakin sehat dan bahagia.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Kalau untuk sekarang kita juga cukup bersyukur ya, banyak wajah-wajah di perpolitikan di Indonesia – walaupun di luar yang cukup ikonik sekarang, seperti ada Christine Lagarde di International Monetary Fund, terus juga ada Amal Clooney. Dia juga menurut saya sangat kuat. Atau mungkin Angelina Jolie, yang walaupun dia tidak berpolitik, tapi sisi kemanusiaanya kencang sekali. Lalu di Indonesia juga sekarang muncul sangat kuat ada Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani kan juga tadinya di World Bank. Jadi maksudnya, walaupun belum terlalu banyak, tapi juga sudah bermunculan. Dan juga sosok-sosok seperti Grace Natalie di PSI. Maksudnya sudah ada.
Saya cuma berharap mungkin lebih banyak lagi – tidak usah besar – mulai dari lingkungan sendiri-sendiri. Tapi paling tidak individual perempuan dan laki-laki, sepertinya menurut saya yang paling penting adalah menjalankan hal yang mereka cintai dan mereka percayai yang membawa dampak positif bagi masyarakat. Dari komunitas kecil saja itu pasti berdampak sangat baik dan kebaikan itu pasti menular. Jadi efeknya semakin besar, malah mungkin mulai mempengaruhi masyarakat dan negara.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Kalau di Indonesia sendiri saya tidak pernah mengalami perempuan dibayar lebih rendah. Saya tidak pernah mengalami ini dan saya juga tidak pernah dengar dari teman-teman saya. Jadi paling sekadar ya kalau intern masih gajinya rendah. Kalau belum ada pengalaman kerja, gajinya masih rendah. Tapi semakin dia naik, pindah perusahaan, gajinya bertambah, seperti sewajarnya saja. Tapi laki-laki sama perempuan gajinya sih sama. Toh di perfilman juga, setahu saya seperti itu, mau sutradara perempuan, sutradara laki-laki, asisten sutradara perempuan/laki-laki, atau director of photography, atau bahkan aktor/aktris, mereka di nilainya dari kualitas dan pengalaman bekerja sih.
Saya sampai sekarang belum bisa berkomentar kalau itu terjadi di Indonesia. Tapi saya juga tidak tahu kalaupun itu terjadi atau tidak di dunia yang saya tidak kenal. Tapi yang saya alami itu tidak terjadi di lingkungan saya dan di lingkungan orang-orang yang saya tahu.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Menurut saya ini bagus banget karena selama ini kita kan dicekoki seperti ibu di rumah, ayah bekerja. Jadi menurut saya juga ini bagus banget untuk pertumbuhan anak. Jadi dia tidak hanya melihat “oh ayah bekerja, ibu di rumah mengurusi.” Dan juga saya merasa banyak banget anak-anak yang tidak begitu dekat dengan ayahnya karena jarang komunikasi dan orang tua juga jarang banget yang kenal anaknya secara mendalam seperti teman, cuma ala kadarnya saja orang tua dan anak. Cuma mereka benar-benar tidak mengerti dunia-(anak)-nya, seperti they don’t have any idea. Coba saja tanya (ke) orang tua film favorit anaknya, atau lagu dan band kesukaan anaknya, they don’t have any idea menurut saya.
Dengan fenomena ini misalnya ayah dengan anak perempuan atau dengan anak laki-laki itu juga semakin terjalin. Tidak bisa saya merasa kalau ibu pasti sudah punya jalinan lebih kuat karena ya ada jalinan tersendiri yang tidak bisa kita jelaskan, anaknya ada dalam perut ibunya gitu untuk beberapa lama dan dilahirkan. Jadi ada jalinan yang kita tidak bisa deskripsikan, memang ada gitu mau tidak mau. Dan saya juga merasa potret atau image laki-laki Indonesia tuh memang dibikin kok kesannya tidak boleh show emotion ke anak, ke keluarga. Mesti kenceng terus, mesti jaim terus, mesti kasih sifat yang keras terus. Nah, menurut saya itu tidak banget sih. Maka anak-anaknya juga jadinya rata-rata tidak dekat dengan orang tua karena itu. Jadi menurut saya itu bagus banget. Apalagi menurut saya itu biasa banget misalnya ayah yang masak, ibu cuci piring, atau besoknya gantian ibu yang masak, ayah yang cuci piring. Bagi-bagi job desk saja sebagai keluarga dan persoalan rumah tangga supaya masing-masing individu tidak stres. Kasihan juga kalau misalnya terlalu berat di satu sisi kan, lebih ke pembagian tugas sih dalam ayah dan ibu karena menurut saya yang penting itu juga kerja sama di dalam rumah tangga.
Dan yang menurut saya juga penting banget adalah walaupun ayahnya stay-at-home as dad juga bukan berarti dia tidak bekerja. Karena sekarang juga banyak banget pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah, misalnya ayahnya penulis kah, atau yang punya saham di mana-mana. Laki-laki kan memang sensitif banget tuh, tidak boleh merasa threatened atau tidak boleh merasa posisinya di bawah perempuan. Rata-rata yang stay-at-home dad malah makin stres karena dia merasa tidak berguna kan, tidak bisa cari uang atau gimana. Jadi menurut saya penting banget juga siapapun melakukan, bukan cuma laki-laki – ibu-ibu juga kalau di rumah saja tidak melakukan apa-apa jadinya stres. Tapi ibu-ibu kan lebih cekatan kan, entah dia punya warung, jualan tempe sama teman-teman arisan. Ibu-ibu tuh aktif, kalau bapak-bapak lumayan agak males ya sepertinya. Memang sepertinya hormon laki-laki dan perempuan itu berbeda. Jadi maksud saya penting banget juga seorang stay-at-home dad punya hobi atau usaha yang dia lakukan juga. Jadi dia bisa stay-at-home dad tapi he’s proud of it. Dia bangga bisa mengurusi anak, tapi dia bangga juga hobi sama bisnisnya jalan. Menurut saya itu ideal banget.